SELAMATKAN GENERASI MUSLIM DARI
PEMBODOHAN DAN KEBOHONGAN SEJARAH !!!
Bisa dikatakan tak akan ada Islam di
Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering mengatakan bahwa Islam di
Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo. Tapi tak banyak
orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak
mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit?
Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh
Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul,
disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun
1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah
yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai
bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para
dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk
menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan
(Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang.
Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu
menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan
pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang
berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan
Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis
dan ideologis dengan Palestina.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif
Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan
Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan
sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari
kata al Quds (Jerusalem).
Dari para wali itulah kemudian Islam
menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu,
sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama
artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak
lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M
(abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan
mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam
seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak
(didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai,
Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke
kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak,
Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di
Kalimantan.
Adapun kesultanan di Jawa antara lain:
kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan
dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu.
Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi
kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi
maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam
kesultanan-kesultanan tersebut.
PERIODE DAKWAH WALI SONGO
Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah
Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq
dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad
Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana
Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin
dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka
singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa
Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan
Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun
1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka
adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal
dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel),
Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari
Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama
keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka
adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri
Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati
Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim
Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu
Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya gelar Raden yang berasal dari
kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa
dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan
Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.
Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh
dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M,
penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta
bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan
tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau
menolong mereka.
Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang
disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan
Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda
selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19
kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan
persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung.
Namun, sebagian besar kapal tersebut
tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk
tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah
di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut
selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan
peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk
mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen
negara Turki.
Hubungan ini nampak pula dalam
penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan
Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir
Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula
Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif
Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana
Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan
membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.
Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses,
sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya
sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah
kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa
mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.
Hubungan erat ini nampak juga dalam
bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin
karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima
bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara
pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922).
Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa
pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul
untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah
kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau
dua kapal yang tiba di Aceh.
Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim
utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki
Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat
tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada
ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye
menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan
Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk
Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia
membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.
Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran
berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera
“dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga
memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk
bersekolah di Turki.
Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan
Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di
Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer
mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama
mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat
stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai
kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya
untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih
dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga
berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan
penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam
berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.
Dengan demikian, keterkaitan Nusantara
sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah
Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan
Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah,
dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung
dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah.
Dengan mengacu pada format sistem
kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah
Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang
berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan
pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya,
penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa
Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat
khilafah Utsmaniyah di Turki.
KESIMPULAN
Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya
sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya
sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena
dilanjutkan oleh anak / keturunannya)
Para Wali ini datang dimulai dari Maulana
Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di
Gresik.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
- Seangkatan dengan beliau ada 2 wali
dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau
kakek Sultan Ageng Tirtayasa.
- Juga Sultan Aliyudin, beliau dari
Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah
& ideologi dg Palestina.
- Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif
Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati;
mereka berdua dari Palestina.
- Maka jangan heran, Sunan Kudus
mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) &
Masjid al-Aqsha di dalamnya.
(Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan
& sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan
Hamengkubuwono X).
Adapun menurut Berita yang tertulis di
dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh
Syekh Maulana Al Maghribi.
Sultan Muhammad I itu membentuk tim
beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa dimulai pada tahun
1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli
mengatur negara dari Turki.
Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404
M/808 H. Terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari
Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.
Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M,
terdiri dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai
Selatan
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.
Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri
dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai
Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri
dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai
Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri
dari :
1. Sunan Giri, asal
Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri
dari :
1. Sunan Giri, asal
Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan koment demi perbaikan dan kemajuan