Senin, 20 Juni 2016

POLIGAMI

poligami dalam Islam
Sifat Dasar Manusia

Aristoteles (384 SM – 322 SM)  murid dari  Plato (427 SM - 347 SM) Yunani.
Plato bilang tubuh adalah penjara jiwa.
Aristoteles membantah kalo tubuh dan jiwa itu justru satu kesatuan, tinggal bagaimana kecakapan manusia dalam mengontrolnya untuk memahami alam semesta dan kehidupan. Plato bilang sifat utama manusia untuk menjadi makhluk Tuhan yang utuh adalah dengan rasionalitas, keutamaan moral juga kebajikan. Aristoteles tambah ngeyel dan lagi-lagi membantah, dibilangnya hal tersebut hanya sekedar wacana dari kemampuan manusia dalam mengatur kendali tubuh dan jiwa.

Sudahlah, lupakan debat Aristoteles dan Plato, toh itu sudah ribuan tahun lampau. Teori tentang manusia pun terus berkembang, sampai Sigmund Freud (1856 - 1939) nyerocos bilang bahwa semua tindakan manusia didorong atas hasrat dan kecenderungan untuk mencapai kepuasan.
Abraham Maslow (1908 - 1970) meluruskan racauannya Freud dengan konteks kebutuhan, bahwa manusia melewati tahapan berjenjang untuk bisa jadi manusia yang utuh, dengan melengkapi semua kebutuhannya dari fisiologis, keamanan dan keselamatan, sosialisasi, penghargaan, terakhir aktualisasi diri.
Permasalahannya, kebutuhan seks pada manusia ada pada kebutuhan dasar (basic needs), di mana bertemunya gairah yang satu dengan gairah yang lain. Dalam hal ini mengacu pada konteks birahi antara laki-laki dan perempuan, bertemunya kelamin yang satu dengan kelamin yang lain. Jelas harus berbeda jenis kelamin dan bukan dengan kelamin yang sama.
Tapi apa kaitannya poligami dengan teori kekuasaan?
.
Teori Kekuasaan (ala) Laki-Laki
Maximilian Weber (1864 – 1920) pernah ngomong kalo manusia itu punya kecenderungan untuk menguasai manusia lainnya. Dari sini berkembang bentuk dan cara-cara khusus untuk jadi penguasa, paling tinggi adalah menguasai negara, bahkan dunia. Sifat dasar manusia ingin menguasai manusia lainnya, jadi minat khusus penelitian para ilmuwan bidang ilmu sosial hingga berkembang menjadi banyak teori tentang kekuasaan.
Ambil gender spesifik, laki-laki, adalah gender yang diciptakan Tuhan pertama kali yang kemudian diciptakan juga perempuan pun waria. Laki-laki dekat dengan kekuasaan, selalu jadi pemimpin minimal di rumah tangga. Hal yang selalu didengung-dengungkan meski harus menutupi segala kelemahan.
Dari teorinya Weber, dikorelasikan dengan keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan, hadir bentukan poligami, laki-laki berpasangan dengan lebih dari satu perempuan. Sampai-sampai Rien Djamain tak tahan menghadapinya dan menyanyikan lagu ‘Sabda Alam’ di tahun 1975.

Sejarah Poligami dan Islam
Sejarah membuktikan bahwa tradisi poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang. Di kalangan kaum Pagan, pun dari suku-suku Arab, Persia juga Yahudi, poligami ini sudah ada sejak jaman purba.
Untuk literatur umum dalam Alqur’an juga Alkitab, Nabi Ibrahim A.S. (Abraham) punya 2 istri, Siti Sarah (Sara) dan Siti Hajar (Hagar). Nabi Ya’qub A.S. (Yakub) punya 4 istri, Liya (Lea) dan Rahel (Rahel), selain juga memperistri budak perempuannya, Zulfa (Zilpa) dan Balha (Bilha). Belum lagi beberapa literatur yang menyebutkan bahwa Nabi Daud A.S. (Daud atau David) punya 300 istri, Nabi Sulaiman A.S. (Solomon) punya 700 istri.
Entah raja-raja lain, pun orang-orang lain di masa lampau. Bener banget omongannya Weber, tindakan menguasai orang lain, dalam hal ini karakter yang dilekatkan dengan sifat laki-laki ingin menguasai wanita, memang bentukan dasar dari sifat manusia.
Islam datang, berusaha jadi rahmatan lil ‘alamin yang inginnya tak mau terjebak dalam bentuk yang paling benar sendiri, paling hebat sendiri. Islam mengetahui adanya poligami sudah dari dulu. Hal begini jelas sulit dilarang, nggak akan laku Islam di kalangan orang-orang yang cenderung sudah berpoligami. Yang ada, Islam membatasi jumlah istri yang dimiliki laki-laki.
Nikah mbok ya jangan kebanyakan, sampe punya istri puluhan atau ratusan. Empat saja cukuplah. Toh ini diatur dasar hukumnya dalam Alqur’an:

Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
(Q.S. Annisa [4]: 3)
Tapi dalil naqli begini juga ada counter attack-nya:
Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung.
(QS an-Nisa’ [4]: 129)
Anehnya di jaman sekarang, harusnya praktek poligami itu dianggap ketinggalan jaman karena ini produk purba, tapi kok ya orang justru senang dengan yang hal yang kuno-kuno. Mengambil bentuk yang gampang bahwa menikah lagi itu diperbolehkan karena memang diijinkan dalam Islam. Padahal ini adalah bentukan pembatasan menikah sampe puluhan bahkan ratusan istri.
.
Poligami dan Berbuat Adil
Yang sudah diatur dalam Alqur’an dan Al Hadist, jelas tidak boleh diutak-utik, tidak boleh diubah bahkan dihilangkan. Poligami jelas dibolehkan dalam Islam. Titik. Namun ketika dicurhati teman yang ingin poligami, saya hanya komentar;
“Kenapa sama kelaminmu? Pengen bertualang ke lain vagina ya? Mending maen perek aja, tapi jangan sampe ketauan bini. Ketimbang ngancurin perasaan bini juga anak-anak karena menikah lagi? Poligami resikonya gede ketimbang maen perek. Maen perek resikonya juga gede, mending nggak usah keduanya, belajar buat berdamai sama kenyataan sajalah!”
Biasanya dari asal nyablak begini saya selalu berantem masalah pendapat tentang poligami. Buat saya sederhana saja, nggak ada manusia yang bisa adil. Kalo kita ingin ‘membumikan’ sosok Rasulullah SAW sekalipun, beliau tetaplah manusia juga, ciptaan Allah SWT. Bisa jadi beliau karena memang dekat dengan Allah SWT, ketika berbuat salah langsung ditegur.
Lantas kita? Siapa yang mau negur ketika kita berbuat tidak adil?
Istri-istri Rasulullah SAW itu jelas bukan dewa, bukan malaikat, masih punya perasaan-perasaan sebagai manusia. Cemburu, itu sifat dasar manusia yang juga jelas dipunyai istri-istri Rasulullah SAW sekalipun. Asiyah R.A. sendiri orang yang cemburuan terhadap istri-istri yang lain, terutama terhadap Khadijah R.A. meski beliau sudah lama wafat.
“Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi sebesar kecemburuanku kepada Khadijah. Meskipun aku tidak pernah melihatnya, namun Nabi Muhammad SAW sangat sering menyebutnya, dan setiap kali beliau menyembelih domba, beliau tentu memotong salah satu bagian dan diberikan kepada teman-teman perempuan Khadijah. Ketika kadang-kadang aku berkata kepada beliau,.’(Engkau memperlakukan Khadijah) seolah-olah tidak ada perempuan lain di bumi kecuali Khadijah!’ Maka beliau berkata, ‘Khadijah adalah begini-begitu, dan darinyalah aku mendapatkan anak’.”
(Hadist 5166 Shahih Bukhari, dari kitab At-Tabnqnt, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 212; Al-Ansab Al-Asyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339)
Bukan cuma pada Khadijah R.A. ia cemburu, Aisyah R.A. juga cemburu pada salah satu istri Rasulullah SAW, Maria Al Qibtiyya R.A.
“Aku belum pernah cemburu kepada seorang perempuan sebagaimana kecemburuanku kepada Maria. Itu disebabkan karena dia memiliki baju dalam yang cantik. Dia biasa tinggal di rumah Haritsah bin Uman. Kami menakut-nakutinya dan aku menjadi khawatir. Rasulullah SAW mengirimnya ke tempat yang lebih tinggi dan beliau suka mengunjunginya di sana. Hal itu menyusahkan kami, dan Allah memberkahi beliau dengan seorang bayi laki-laki melaluinya dan kami (lalu) menjauhi beliau.”
(At-Tabnqnt, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 212; Al-Ansab Al-Asyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339)
Selain itu Aisyah R.A. juga cemburu pada Shafiyah binti Huyay R.A. salah satu istri Rasulullah yang lain. Ini termaktub dalam kisah:
“Shafiyah istri Nabi (suatu ketika) mengirimkan sepiring makanan yang dia buat untuk beliau ketika beliau sedang bersamaku. Ketika aku melihat pelayan perempuan, aku gemetar karena gusar dan marah, dan aku ambil mangkuk itu dan melemparkannya. Nabi Muhammad SAW lalu memandangku. Aku melihat kemarahan di wajah beliau dan aku berkata kepadanya, Aku berlindung dari kutukan Rasulullah hari ini.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Ganti!’ Aku berkata, ‘Apa gantinya ya Rasulullah?’ Beliau berkata, ‘Makanan seperti makanannya (Shafiyah) dan sebuah mangkuk seperti mangkuknya!”
(Hadist 7152 Shahih Bukhari)
Kecemburuan Aisyah R.A. bisa jadi sudah sangat kelewatan. Seperti dikutip dari Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 227; Shahih an-Nasa’i, jilid 2, hal. 145, kecemburuah istri Rasulullah SAW yang ini sudah sampai memecahkan piring dengan makanan yang ada di atasnya dan merobek-robek pakaian.
Salahkah Aisyah?
Bagi yang berpoligami, gampangnya coba tanyakan ke istri tua aja deh…
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan koment demi perbaikan dan kemajuan