PEMBODOHAN DAN KEBOHONGAN SEJARAH !!!
Awal
Masuk Islam di Indonesia
Sebelum
kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, perlu di
perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah
dan Jihad. Awalnya negeri yang di targetkan akan di beri da’wah, ketika
menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika menolak, maka akan
terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah politik Luar Negeri,
dimana di setiap perkembangan akan di sampaikan kepada Khalifah.
Itu pula
yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang
semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada Khalifah?
Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik Luar Negeri?
Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda untuk
menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus Da’wah Islam dan menjadi bagian
dari Khilafah?
Dari
teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam
Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia
pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang
dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan
dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang
China yang berjudul Chiu Thang Shu.
Menurut
buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan
kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat
tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni’, sebutan
untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi
Mo Ni’ itu merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti
bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.
Pada
masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin
bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang
datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi
yang pernah dikirim ke China.
Bahkan
pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan
muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat
diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung
ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan
kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah
tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.
Beberapa
catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat
mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya
mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu.
Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak
tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang
cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu
Abdul Aziz.
Lebih
jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu
tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di
Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim
ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka
berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan
Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada
periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo.
Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat
Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing
memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga
wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa
Timur.
Wilayah
kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga
adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan
jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni
melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat.
Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi
kebutuhan masyarakat Jawa.
Selain
berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan
pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran
Islam, sekaligus sebagai tempat pengaderan para santri. Pesantren Ampel Denta
dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa
itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah
berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di
Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Penjajah
Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah
Pada
masa penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam oleh
hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang
dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui
Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah
Islam sebagai agama.
Dari
pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan
menghancurkan Islam dengan 3 cara.
Pertama: memberangus politik dan institusi
politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah
Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung
diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan
peraturan kolonial.
Kedua:
melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di
Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap
sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak
Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga:
dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah.
Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal
dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini
bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah
satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah:
Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak
mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan
Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang
mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun
1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam.
Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah,
syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular.
Hukum-hukum sekular ini terus berlangsung hingga sekarang. Walhasil, tidak
salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini
merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh
kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan koment demi perbaikan dan kemajuan