Sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan
sumber hukum Islam yang permanen. Namun dari sudut pandang ajaran hukum Islam,
ia ada kalanya bersifat Absolut/mutlaq, yakni ketentuan hukumnya sudut
permanent dan tidak dapat kompromi untuk dapat berubah berdasarkan objek
permasalahan. Termasuk kelompok ini adalah ajaran agama Islam yang tercantum
dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mutawattir yang penunjukanya telah jelas dan
pasti (Qath’i al – dalalah).
Dan ada juga yang bersifat, yakni bisa berubah berdasarkan objek permasalahan
(tempat,waktu dan keadaan). Termasuk kelompok ini adalah ajaran islam yang
masih debatable dikalangan mujtahid yang yang dihasilkan melalui proses
ijtihadi.
Di kalangan ahli Ushul Fiqh dan pembaharuan dalam Islam, pembahasan tersebut
sudah menjadi kerangka berfikir yang sering muncul. Ia biasa menyebutkan bahwa
hkum islam dibedakan antara Syari’at Islam (bersifat mutlaq) di satu pihak dan
Fiqh Islam (bersifat relatif di pihak lain).
Pengertian dan Pembagian Dalalah
Yang dimaksud dengan
dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk
yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa pengertian yang dikehendaki. Dengan
kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang
ditunjuk oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jarjani dalam
kitab al-Ta’arif disebut dengan :
كيفية دلالة اللفظ على
المعنى
Qath’i dan Thzonni
Qath’i dan Thzonni
Secara garis besar
dikalangan ahli uhsul fiqh dikenal dikotomi antara dalil Qath’i dan dalil
Thzonni, baik dari segi eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah).
Dalil Qath’i adalah setiap nash yang mempunyai makna secara pasti dan jelas
(tanpa ta’wil), baik ditinjau dari segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun
dari segi dalalah (penunjukannya). Sedangkan dalil Thzonni
adalah setiap nash yang mempunyai makna tidak pasti (dugaan=thzon) yang
masih kemungkinan terjadi proses ta’wil (perubahan), baik dari segi wurud
(keberadaannya) maupun dalalah (pemahaman dan penunjukkan maknanya).
Jika memahami nash-nash ditinjau dari segi Wurud (sebab datang dan turunnya)
terbagi menjadi dua bagian :
1. Qhat’i al wurud
2. Thonni al wurud
Nash yang Qath’i al Wurud adalah nash-nash yang dilihat dari segi turunnya,
ketetapannya dan penukilannya secara jelas dan pasti. Menurut Safi Hasan Abu
Thalib bahwa nash- nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat
diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
هو ما نقل الينا بطريق التواتر
Seperti al Qur’an bersifat Qath’i al Wurud sebab turunnya, ketetapannya dan
penukilannya dilakukan mulai diturunkan Allah kepada Rasul-Nya yang disampaikan
kepada umatnya secara estafet tanpa perubahan dan pergantian. Demikian juga
as-Sunnah yang mutawatir bersifat Qath’i al Wurud, sebab periwatannya mutawatir
(berlangsung terus menerus) mulai dari Rasul, para sahabat, tabi”in, ulama dan
seterusnya sampai kepada kita. Di samping juga ada yang bersifat Thzonni
al-Wurud (sunnah masyhur dan ahad). Nash yang Thzonni al-Wurud adalah nash-nash yang datang dan penukilannya belum
jelas dan masih dalam dugaan. Safi Hasan Abu Thalib menyebutnya dengan :
هو الذي قد يثور شك حول ثبوته لانه لم ينقل الينا بطريق التواتر
Nash dalam kategori ini adalah hanya as-Sunnah yang masyhur dan ahad, meskipun
sumber datangnya dari Rasulullah namun sanadnya tidak mendatangkan kepastian
dan masih merupakan dugaan karena tidak dinukil secara mutawatir. Al-Qur’an dan
as-Sunnah Mutawatir tidak termasuk dalam kelompok ini.
Adapun pemahaman nash-nash yang ditinjau dari segi dalalah (penunjukannya) juga
terbagi menjadi dua bagian:
1. Qath’i al-Dalalah
2. Thzonni al-Dalalah
Nash yang Qath’i a-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna, yang
dapat dipahami dengan pemahaman tertentu, atau tidak mungkin menerima adanya
ta’wil, atau tidak ada arti selain pemahaman dari makna tersebut . Safi Hasan
Abu Thalib menjelaskan bahwa tema yang disebutkan ini ialah kelompok nash-nash
yang hanya menunjukkan kepada pengertian yang satu saja atau tertentu.
هو النصوص التي لا تدل الا على معنى واحد
Sementara itu, Imam Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyebutnya dengan:
الفاظ بينة الدلالة واضعة لا تحتاج الى بيان
“Lafadz-lafadz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta
tidak memerlukan penjelasan lain.”
Al-Qur’an dan as-Sunnah keduanya juga mengandung pemahaman Qath’i al-Dalalah,
namun hanya as-sunnah tingkat Mutawatir sajalah yang penunjukkannya (dalalah)
sama dengan al-Qur’an. Sedangkan as-Sunnah yang di bawah peringkat mutawatir
termasuk kelompok Thzonni al-dalalah, Adapun nash yang Thzonni al-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas
makna, tapi memungkinkan di ta’wil atau dirubah dari makna asalnya menjadi
makna yang lain. Baik al-Qur’an maupun as-Sunnah mengandung makna Thzonni
al-Dalalah. Mengenai contoh dari keduanya akan dijelaskan pada pembahasan
berikut.
Al-Qur’an dan Dalalahnya
Para ahli hukum Islam sepakat mengenai penggunaan al-qur’an sebagai sumber
hukum yang utama dalam menentukan dan mengambil kesimpulanhukum. Mengenai
tema-tema di atas dan hubungannya dengan nash al-Qur’an, maka seluruh nash
al-qur’an adalah qath’i al-Wurud dari segi eksistensinya dan ketetapan turunnya
karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak
diragukan kebenarannya dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir
diturunkan. Akan tetapi ayat hukum yang lansung menunjukkan materi hukum sangat
terbatas jumlahnya. Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa ayat-ayat hukum dalam
bidang mu’amalat berkisar antara 230 sampai 250 ayat saja . Sedangkan jumlah
ayat al-Qur’an seluruhnya lebih dari 6.000 ayat. Jadi, jumlah ayat hukum dalam
al-qur’an sekitar 3-4% saja dari seluruh ayat al-Qur’an. Bahkan menurut Prof
Dr. H. M. Rasjidi, ayat-ayat al-Qur’an kurang lebih 200 ayat, yakni sekitar 3%
dari jumlah seluruhnya .
Selanjutnya, nash-nash al-Qur’an jika dilihat dari segi dalalah (penunjukkannya) bagi hukum di dalamnya, mengandung dua makna.
Selanjutnya, nash-nash al-Qur’an jika dilihat dari segi dalalah (penunjukkannya) bagi hukum di dalamnya, mengandung dua makna.
Pertama, Nash yang Qath’i al-dalalah yakni, nash yang menunjukkan makna yang
pasti. Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan kepada Qath’i al-Dalalah
ini, lafadz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan
tertentu serta sifat atau nama dan jenis .
Beberapa contoh al Qur’an yang Qath’I al-dalalah sebagai berikut :
Beberapa contoh al Qur’an yang Qath’I al-dalalah sebagai berikut :
“Dan bagimu (suami) mendapat seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istri
kamu, jika mereka tidak mempunyai anak……. “(QS. An-Nisa':12)
Ayat tersebut berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Bahwa bagian
suami (bila ditinggalkan mati istri) dengan keadaan tidak mempunyai anak, maka
ia mendapat bagian seperdua, dan tidak bias dipahami dengan versi lain. Ayat
diatas adalah Qath’I al dalalah, jelas dan tegas, karena terdapat kata (نصف =
seperdua) yang tidak dapat dipahami dengan pengertian lain kecuali menunjukkan
kepada maksud yang di kehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera......” (QS. an-Nur :2) =seratus dera), yakni menjatuhkan hukuman pidana terhadap hukum pidana
terhadap pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan dengan had 100 kali dera,
tidak kurang tidak lebih.
“ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan
mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka daerah (jilid) mereka
yang menuduh itu sebanyak delapan piluh kali derah.(QS. an-Nur :4)
Dalam ayat diatas terdapat kata-kata ( اربعة شهداء = empat orang saksi) yang
menunjukan bilangan atau angka yang sudah pasti. Nash-nash al-Qur’an yang
dikatagorikan seperti contoh diatas, para ulama ushul sepakat dan tak seorang
pun menolaknya bahwa nash-nash yang qath’i al-dalalah itu sudah jelas dan pasti
pengertiannya.
Kedua, Nash yang Thzonni al-dalalah yakni, menunjukan makna yang tidak pasti
atau masih dugaan dan memungkinkan terjadi ta’wil. Menurut Safi Hasan Abu
Thalib, bahwa nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan pada kelompok kedua ini
adalah bila lafadz-lafadznya diungkapkan dalam bentuk umum,musytarak,dan
mutlaq. Ketiga bentuk lafadz ini dalam kaidah ushuliyyah mengandung makna atau
pengertian yang banyak dan tidak tegas. Secara kuantitas jumlah nash-nash
al-Qur’an yang Thzonni al-dalalah lebih banyak dari nash yang qath’i
al-dalalah, sehingga banyak menimbulkan interpretasi dan perdebatan dikalangan
ulama ushul dalam mengambil kepastian hukum.
Beberapa contoh nash-nash al-qur’an yang Thzonni al-dalalah sebagai berikut :
“Dan wanita-wanita yang ditalaq (diceraikan) oleh suami mereka, hendaklah
mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’.(QS. Al-Baqarah : 228).
Yang menjadi persoalan di dalam ayat ini bukan tiga kali quru’nya, jumlah tiga
kali itu sudah jelas tapi lafadz قروء itu sendiri. Lafadz قروء jamak dari قرء
adalah musytarak, yaitu mengandung arti lebih dari satu; ada yang mengartikan
dengan haid ( حيض) dan ada juga yang mengartikan dengan suci ( طهر) . Keduanya
dari arti lafadz قروء akan menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda. Maksudya
jika قروء berarti’suci’ maka wanita yang ditalak suaminya itu harus menunggu
tiga kali suci dan tentu masa’iddahnya lebih lama atau lebih panjang dari pada
arti haid. Hal ini karena penghitunganya ditekankan setelah suci (bersih) dari
haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafadz قروء berarti ‘haid’. Artinya, jika wanita yang
ditalak oleh suaminya itu telah nyatadan terbukti haid berturut-turut tiga
kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci
(bersih).
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci.
Sementara itu dikalangan syafi’iyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti suci, karena qarinahnya menunjukan kata bilangan muannats (jenis perempuan) sedangkan yang dibilang (al-ma’dud) itu adalah mudzkar yaitu( طهر).
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci.
Sementara itu dikalangan syafi’iyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti suci, karena qarinahnya menunjukan kata bilangan muannats (jenis perempuan) sedangkan yang dibilang (al-ma’dud) itu adalah mudzkar yaitu( طهر).
“Allah tiadak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepuluh
orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa tidak
sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari.”(QS.al-Maidah : 89).
Dari kata اللغو pada ayat diatas, para fuqoha telah berbeda pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa pengertian اللغو ialah sumpah terhadap sesuatu yang disangka terjadi, tapi kenyataanya tidak. Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud اللغو ialah sumpah yang tidak bertujuan untuk memperkuat ucapan. Misalnya dalam suatu ucapan seseorang mengatakan : “ya, demi allah,” (la wallahi),kata-kata tersebut telah biasa diucapkan tanpa memliki konotasi sebagai sumpah.
Dari kata اللغو pada ayat diatas, para fuqoha telah berbeda pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa pengertian اللغو ialah sumpah terhadap sesuatu yang disangka terjadi, tapi kenyataanya tidak. Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud اللغو ialah sumpah yang tidak bertujuan untuk memperkuat ucapan. Misalnya dalam suatu ucapan seseorang mengatakan : “ya, demi allah,” (la wallahi),kata-kata tersebut telah biasa diucapkan tanpa memliki konotasi sebagai sumpah.
Dengan demikian dalalah kalimat اللغو adalah bersifat Thzonni. Demikian pula
kalimat (عقدتم = sumpah yang disengaja) juga diperselisihkan para ulama . Juga
puasa tiga hari, apakah berturut-turut atau tidak.
Masih banyak contoh lain yang harus dipahami dari nash-nash yang menunjukkan Thzonni
al-Dalalah. Karena menurut kuantitasnya, nash-nash al-qur’an yang dikategorikan
kepada Thzonni al-Dalalah ini jumlahny lebih besar dari Qath’i al-Dalalah. Maka
sebuah keniscayaan jika kemudian terjadinya banyak perbedaan pendapat
dikalangan mujtahid dalam mengambil kepastian hukumnya, serta beragamnya produk
hukum yang dihasilkan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, sehingga
memenuhi khazanah intelektual muslim dalam bebagai bidang ilmu, mulai dari
bidang Tafsir dan Hadits sampai bidang Filsafat, Teologi dan Hukum Islam. Dalam
hubungan ini Harun Nasution secara ilustratif menyatakan :
“Kelompok ajaran
islam itu kecil dizaman nabi, lebih besar di zaman Khulafaurrasyidin, lebih banyak
lagi di zaman Usman, begitulah selanjutnya berkembang. Akan tetapi Qur’annya
itu-itu juga.
Sunnah dan Dalalahnya
Sebelum menentukan apakah sunnah dalalah Qath’i atau Thzonni, hendaknya kita
mengetahui terlebih dahulu bagian dari beberapa sunnah. Dalam pembahasan ini
yang harus diketahui dari pembagian sunnah adalah ditinjau dari segi jumlah
periwayatannya. Menurut para ulama bahwa sunnah dibagi menjadi tiga tingkatan :
- Sunnah Mutawatir, yaitu sunnah (khabar) yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
- Sunnah Masyhur, yaitu sunnah yang diterima nabi oleh beberapa orang Sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan juga kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas Sunnah Mutawatir.
- Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidak sampai kepada derajat mutawatir atau yang diriwayatkan oleh seseorang atau dua orang atau kelompok orang yang telah mencapai derajat mutawatir.
Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah bahwa, Sunnah Mutawatir diterima
dan disampaikan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir, Sunnah Masyhur
diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perorangan, kemudian
dilanjutkan sampai keujungannya secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Ahad
diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara
perorangan .
Selanjutnya, dari beberapa bagian dari Sunnah yang ada tiga tersebut dapat dikatagorikan bahwa, jika dilihat dari segi eksistensinya (Wurud) Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia dikelompokkan menjadi Qath’i al-Wurud dan Thzonni al-Wurud.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa, Sunnah Mutawatir adalah Qath’i al-Wurud dari Rasulullah. Sebab mutawatirnya periwayatan itu dapat melahirkan ketetapan dan kepastian tentang kebenaran suatu riwayat . Dengan kata lain, Sunnah Mutawatir ini periwayatannya dilakukan oleh orang banyak dan disampaikan kepada orang banyak pula sehingga tidak mungkin akan terjadinya kebohongan kolektif.
Selanjutnya, dari beberapa bagian dari Sunnah yang ada tiga tersebut dapat dikatagorikan bahwa, jika dilihat dari segi eksistensinya (Wurud) Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia dikelompokkan menjadi Qath’i al-Wurud dan Thzonni al-Wurud.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa, Sunnah Mutawatir adalah Qath’i al-Wurud dari Rasulullah. Sebab mutawatirnya periwayatan itu dapat melahirkan ketetapan dan kepastian tentang kebenaran suatu riwayat . Dengan kata lain, Sunnah Mutawatir ini periwayatannya dilakukan oleh orang banyak dan disampaikan kepada orang banyak pula sehingga tidak mungkin akan terjadinya kebohongan kolektif.
Sementara itu, Sunnah yang dikategorikan kepada Thzonni al-Wurud adalah Sunnah Masyhur dan Ahad. Keduanya - Masyhur dan ahad- dilihat dari segi periwayatan atau penukilannya dari nabi tidak mencapai tingkat mutawatir. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa, Sunnah Masyhur adalah qath’i al-wurud dari seorang sahabat yang menerima riwayat dari rasulullah, karena tawaturnya penukilan dari mereka, tetapi belum tentu datang dari rasulullah, sebab yang pertama kali yang menerima bukan kelompok tawatur.sehingga fuqaha Hanafiyah mengatakan bahwa Sunnah Masyhur termasuk Sunah Mutawatir yang demikian keumuman al-Qu’an ditakhsis dan kemutlakannya diberi batasan (taqyid) karena riwayat tersebut Qath’i al-wurud datang dari sahabat. Adapun Sunnah Ahad adalh Thzonni al-wurud dari Rasulullah karena sanadnya tidak mendatangkan kepastian.
Kemudian, Sunnah dilihat dari segi dalalah (penunjukannya) dapat dibedakan kepada Qath’i al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) tidak mungkin dita’wilkan, yakni sunnah yang dalalahnya mengandung pengertian makna yang pasti dan jelas. Sebagai contoh, dalam hadits disebutkan cara rasulullah berwudhu dengan membasuh anggota wudhu masing-masing tiga kali ثلاث مرات) ) kecuali mengusap kepala. Dalam kata (ثلاث مرات) itu menunjukkan pengertian Qath’i (pasti) dan tidak dapat diartikan kepada pengertian lain selain yang dikehendaki. Dan Sunnah yang Thzonni al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) mengandung pengertian makna yang mungkin terjadi ta’wil dan terdapat pengertian lain selain yang dikehendaki. Misalnya hadits tentang bacaan al fatihah dalam shalat.
لا صلاة لمن لم يقراء بفاتحة الكتاب
“tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al fatihah”.
Membaca al fatihah dalam shalat dalalahnya Thzonni. Sebagaiman dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa bacaan alfatihah ini dikalangan ulama menimbulkan perdebatan. kalangan jumhur fuqaha berpandapat bahwa tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam shaltnya. Sementara itu kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa hadits diatas adalah Thzonni al-Dalalah, karena ada kemungkinan mengandung arti lain, yaotu bukan tidak sah shalat seseorang ia jika tidak membaca al-fatihah, tetapi menunjukkan pengertian tidak sempurna . Dengan demikian, bahwa nash-nash yang yang Thzonni al-Dalalah memberi peluang untuk dita’wilkan atau diartikan dengan pengertian lain selain dari dasar yang dikandungnya.
KESIMPULAN
Atas dasar ini. Jika diadakan perbandingan antara nash-nash al-Qur’an dengan as-sunnah dilihat dari segi Qath’i dan Thzonni, maka al-Qur’an seluruh nashnya adalah Qath’i al-Wurud, sedangkan dalalahnya ada yang Qathi al dalalah dan ada yang Thzonni al-dalalah.
Membaca al fatihah dalam shalat dalalahnya Thzonni. Sebagaiman dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa bacaan alfatihah ini dikalangan ulama menimbulkan perdebatan. kalangan jumhur fuqaha berpandapat bahwa tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam shaltnya. Sementara itu kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa hadits diatas adalah Thzonni al-Dalalah, karena ada kemungkinan mengandung arti lain, yaotu bukan tidak sah shalat seseorang ia jika tidak membaca al-fatihah, tetapi menunjukkan pengertian tidak sempurna . Dengan demikian, bahwa nash-nash yang yang Thzonni al-Dalalah memberi peluang untuk dita’wilkan atau diartikan dengan pengertian lain selain dari dasar yang dikandungnya.
KESIMPULAN
Atas dasar ini. Jika diadakan perbandingan antara nash-nash al-Qur’an dengan as-sunnah dilihat dari segi Qath’i dan Thzonni, maka al-Qur’an seluruh nashnya adalah Qath’i al-Wurud, sedangkan dalalahnya ada yang Qathi al dalalah dan ada yang Thzonni al-dalalah.
Adapun as-sunnah ada yang qath’i al-wurud dan ada yang
Thzonni al –wurud jika dilihat dari segi eksistensinya (keberadaan). Disamping
itu, dari segi dalalah (penunjukkannya) ada yang Qath’i al-dalalah dan ada juga
yang Thzonni al-dalalah. (Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I)
Yah madan mumeti jlimet tapi memang perlu kita ketahui agar kebragamaan kita tidak ngawur ya tho?
BalasHapus