Senin, 20 Juni 2016

POLIGAMI

poligami dalam Islam
Sifat Dasar Manusia

Aristoteles (384 SM – 322 SM)  murid dari  Plato (427 SM - 347 SM) Yunani.
Plato bilang tubuh adalah penjara jiwa.
Aristoteles membantah kalo tubuh dan jiwa itu justru satu kesatuan, tinggal bagaimana kecakapan manusia dalam mengontrolnya untuk memahami alam semesta dan kehidupan. Plato bilang sifat utama manusia untuk menjadi makhluk Tuhan yang utuh adalah dengan rasionalitas, keutamaan moral juga kebajikan. Aristoteles tambah ngeyel dan lagi-lagi membantah, dibilangnya hal tersebut hanya sekedar wacana dari kemampuan manusia dalam mengatur kendali tubuh dan jiwa.

Sudahlah, lupakan debat Aristoteles dan Plato, toh itu sudah ribuan tahun lampau. Teori tentang manusia pun terus berkembang, sampai Sigmund Freud (1856 - 1939) nyerocos bilang bahwa semua tindakan manusia didorong atas hasrat dan kecenderungan untuk mencapai kepuasan.
Abraham Maslow (1908 - 1970) meluruskan racauannya Freud dengan konteks kebutuhan, bahwa manusia melewati tahapan berjenjang untuk bisa jadi manusia yang utuh, dengan melengkapi semua kebutuhannya dari fisiologis, keamanan dan keselamatan, sosialisasi, penghargaan, terakhir aktualisasi diri.
Permasalahannya, kebutuhan seks pada manusia ada pada kebutuhan dasar (basic needs), di mana bertemunya gairah yang satu dengan gairah yang lain. Dalam hal ini mengacu pada konteks birahi antara laki-laki dan perempuan, bertemunya kelamin yang satu dengan kelamin yang lain. Jelas harus berbeda jenis kelamin dan bukan dengan kelamin yang sama.
Tapi apa kaitannya poligami dengan teori kekuasaan?
.
Teori Kekuasaan (ala) Laki-Laki
Maximilian Weber (1864 – 1920) pernah ngomong kalo manusia itu punya kecenderungan untuk menguasai manusia lainnya. Dari sini berkembang bentuk dan cara-cara khusus untuk jadi penguasa, paling tinggi adalah menguasai negara, bahkan dunia. Sifat dasar manusia ingin menguasai manusia lainnya, jadi minat khusus penelitian para ilmuwan bidang ilmu sosial hingga berkembang menjadi banyak teori tentang kekuasaan.
Ambil gender spesifik, laki-laki, adalah gender yang diciptakan Tuhan pertama kali yang kemudian diciptakan juga perempuan pun waria. Laki-laki dekat dengan kekuasaan, selalu jadi pemimpin minimal di rumah tangga. Hal yang selalu didengung-dengungkan meski harus menutupi segala kelemahan.
Dari teorinya Weber, dikorelasikan dengan keinginan laki-laki untuk menguasai perempuan, hadir bentukan poligami, laki-laki berpasangan dengan lebih dari satu perempuan. Sampai-sampai Rien Djamain tak tahan menghadapinya dan menyanyikan lagu ‘Sabda Alam’ di tahun 1975.

Sejarah Poligami dan Islam
Sejarah membuktikan bahwa tradisi poligami sudah ada jauh sebelum Islam datang. Di kalangan kaum Pagan, pun dari suku-suku Arab, Persia juga Yahudi, poligami ini sudah ada sejak jaman purba.
Untuk literatur umum dalam Alqur’an juga Alkitab, Nabi Ibrahim A.S. (Abraham) punya 2 istri, Siti Sarah (Sara) dan Siti Hajar (Hagar). Nabi Ya’qub A.S. (Yakub) punya 4 istri, Liya (Lea) dan Rahel (Rahel), selain juga memperistri budak perempuannya, Zulfa (Zilpa) dan Balha (Bilha). Belum lagi beberapa literatur yang menyebutkan bahwa Nabi Daud A.S. (Daud atau David) punya 300 istri, Nabi Sulaiman A.S. (Solomon) punya 700 istri.
Entah raja-raja lain, pun orang-orang lain di masa lampau. Bener banget omongannya Weber, tindakan menguasai orang lain, dalam hal ini karakter yang dilekatkan dengan sifat laki-laki ingin menguasai wanita, memang bentukan dasar dari sifat manusia.
Islam datang, berusaha jadi rahmatan lil ‘alamin yang inginnya tak mau terjebak dalam bentuk yang paling benar sendiri, paling hebat sendiri. Islam mengetahui adanya poligami sudah dari dulu. Hal begini jelas sulit dilarang, nggak akan laku Islam di kalangan orang-orang yang cenderung sudah berpoligami. Yang ada, Islam membatasi jumlah istri yang dimiliki laki-laki.
Nikah mbok ya jangan kebanyakan, sampe punya istri puluhan atau ratusan. Empat saja cukuplah. Toh ini diatur dasar hukumnya dalam Alqur’an:

Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya.
(Q.S. Annisa [4]: 3)
Tapi dalil naqli begini juga ada counter attack-nya:
Sekali-kali kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat menginginkannya. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah seorang istri yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan istri-istri kalian yang lain terkatung-katung.
(QS an-Nisa’ [4]: 129)
Anehnya di jaman sekarang, harusnya praktek poligami itu dianggap ketinggalan jaman karena ini produk purba, tapi kok ya orang justru senang dengan yang hal yang kuno-kuno. Mengambil bentuk yang gampang bahwa menikah lagi itu diperbolehkan karena memang diijinkan dalam Islam. Padahal ini adalah bentukan pembatasan menikah sampe puluhan bahkan ratusan istri.
.
Poligami dan Berbuat Adil
Yang sudah diatur dalam Alqur’an dan Al Hadist, jelas tidak boleh diutak-utik, tidak boleh diubah bahkan dihilangkan. Poligami jelas dibolehkan dalam Islam. Titik. Namun ketika dicurhati teman yang ingin poligami, saya hanya komentar;
“Kenapa sama kelaminmu? Pengen bertualang ke lain vagina ya? Mending maen perek aja, tapi jangan sampe ketauan bini. Ketimbang ngancurin perasaan bini juga anak-anak karena menikah lagi? Poligami resikonya gede ketimbang maen perek. Maen perek resikonya juga gede, mending nggak usah keduanya, belajar buat berdamai sama kenyataan sajalah!”
Biasanya dari asal nyablak begini saya selalu berantem masalah pendapat tentang poligami. Buat saya sederhana saja, nggak ada manusia yang bisa adil. Kalo kita ingin ‘membumikan’ sosok Rasulullah SAW sekalipun, beliau tetaplah manusia juga, ciptaan Allah SWT. Bisa jadi beliau karena memang dekat dengan Allah SWT, ketika berbuat salah langsung ditegur.
Lantas kita? Siapa yang mau negur ketika kita berbuat tidak adil?
Istri-istri Rasulullah SAW itu jelas bukan dewa, bukan malaikat, masih punya perasaan-perasaan sebagai manusia. Cemburu, itu sifat dasar manusia yang juga jelas dipunyai istri-istri Rasulullah SAW sekalipun. Asiyah R.A. sendiri orang yang cemburuan terhadap istri-istri yang lain, terutama terhadap Khadijah R.A. meski beliau sudah lama wafat.
“Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi sebesar kecemburuanku kepada Khadijah. Meskipun aku tidak pernah melihatnya, namun Nabi Muhammad SAW sangat sering menyebutnya, dan setiap kali beliau menyembelih domba, beliau tentu memotong salah satu bagian dan diberikan kepada teman-teman perempuan Khadijah. Ketika kadang-kadang aku berkata kepada beliau,.’(Engkau memperlakukan Khadijah) seolah-olah tidak ada perempuan lain di bumi kecuali Khadijah!’ Maka beliau berkata, ‘Khadijah adalah begini-begitu, dan darinyalah aku mendapatkan anak’.”
(Hadist 5166 Shahih Bukhari, dari kitab At-Tabnqnt, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 212; Al-Ansab Al-Asyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339)
Bukan cuma pada Khadijah R.A. ia cemburu, Aisyah R.A. juga cemburu pada salah satu istri Rasulullah SAW, Maria Al Qibtiyya R.A.
“Aku belum pernah cemburu kepada seorang perempuan sebagaimana kecemburuanku kepada Maria. Itu disebabkan karena dia memiliki baju dalam yang cantik. Dia biasa tinggal di rumah Haritsah bin Uman. Kami menakut-nakutinya dan aku menjadi khawatir. Rasulullah SAW mengirimnya ke tempat yang lebih tinggi dan beliau suka mengunjunginya di sana. Hal itu menyusahkan kami, dan Allah memberkahi beliau dengan seorang bayi laki-laki melaluinya dan kami (lalu) menjauhi beliau.”
(At-Tabnqnt, Ibnu Sa’d, jilid 8, hal. 212; Al-Ansab Al-Asyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339)
Selain itu Aisyah R.A. juga cemburu pada Shafiyah binti Huyay R.A. salah satu istri Rasulullah yang lain. Ini termaktub dalam kisah:
“Shafiyah istri Nabi (suatu ketika) mengirimkan sepiring makanan yang dia buat untuk beliau ketika beliau sedang bersamaku. Ketika aku melihat pelayan perempuan, aku gemetar karena gusar dan marah, dan aku ambil mangkuk itu dan melemparkannya. Nabi Muhammad SAW lalu memandangku. Aku melihat kemarahan di wajah beliau dan aku berkata kepadanya, Aku berlindung dari kutukan Rasulullah hari ini.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Ganti!’ Aku berkata, ‘Apa gantinya ya Rasulullah?’ Beliau berkata, ‘Makanan seperti makanannya (Shafiyah) dan sebuah mangkuk seperti mangkuknya!”
(Hadist 7152 Shahih Bukhari)
Kecemburuan Aisyah R.A. bisa jadi sudah sangat kelewatan. Seperti dikutip dari Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 227; Shahih an-Nasa’i, jilid 2, hal. 145, kecemburuah istri Rasulullah SAW yang ini sudah sampai memecahkan piring dengan makanan yang ada di atasnya dan merobek-robek pakaian.
Salahkah Aisyah?
Bagi yang berpoligami, gampangnya coba tanyakan ke istri tua aja deh…
.

ISLAM MASUK INDONESIA

PEMBODOHAN DAN KEBOHONGAN SEJARAH !!!

Awal Masuk Islam di Indonesia
Sebelum kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara, perlu di perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah dan Jihad. Awalnya negeri yang di targetkan akan di beri da’wah, ketika menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika menolak, maka akan terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah politik Luar Negeri, dimana di setiap perkembangan akan di sampaikan kepada Khalifah.

Itu pula yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada Khalifah? Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik Luar Negeri? Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda untuk menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus Da’wah Islam dan menjadi bagian dari Khilafah?

Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu.

Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni’, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni’ itu merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China.

Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.

Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.
Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.

Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur.

Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa.

Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat pengaderan para santri. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.

Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah
Pada masa penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama.
Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara. 

Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.

Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.

Demikianlah, syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular. Hukum-hukum sekular ini terus berlangsung hingga sekarang. Walhasil, tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil

mengenyahkan sang penjajah: Belanda



WALI SONGO UTUSAN KHALIFAH

SELAMATKAN GENERASI MUSLIM DARI PEMBODOHAN DAN KEBOHONGAN SEJARAH !!!
Bisa dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit?
Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).
Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan.
Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.
PERIODE DAKWAH WALI SONGO
Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu.
Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka.
Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung.
Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.
Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.
Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.
Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922).
Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki.
Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki.
Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.
Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah.
Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.
KESIMPULAN
Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya)
Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
- Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa.
- Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina.
- Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina.
- Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) & Masjid al-Aqsha di dalamnya.
(Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X).
Adapun menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.
Sultan Muhammad I itu membentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki.
Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. 
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan. 
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir. 
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko. 
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara. 
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan. 
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina. 
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina. 
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.
Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan 
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir 
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina 
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina 
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.
Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir 
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah 
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah 
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 
5. Sunan Kudus, asal Palestina 
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang 
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
berbagai sumber

USUL FIQIH DZONNI dan QATH'I

Sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan sumber hukum Islam yang permanen. Namun dari sudut pandang ajaran hukum Islam, ia ada kalanya bersifat Absolut/mutlaq, yakni ketentuan hukumnya sudut permanent dan tidak dapat kompromi untuk dapat berubah berdasarkan objek permasalahan. Termasuk kelompok ini adalah ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mutawattir yang penunjukanya telah jelas dan pasti (Qath’i al – dalalah).
Dan ada juga yang bersifat, yakni bisa berubah berdasarkan objek permasalahan (tempat,waktu dan keadaan). Termasuk kelompok ini adalah ajaran islam yang masih debatable dikalangan mujtahid yang yang dihasilkan melalui proses ijtihadi.
Di kalangan ahli Ushul Fiqh dan pembaharuan dalam Islam, pembahasan tersebut sudah menjadi kerangka berfikir yang sering muncul. Ia biasa menyebutkan bahwa hkum islam dibedakan antara Syari’at Islam (bersifat mutlaq) di satu pihak dan Fiqh Islam (bersifat relatif di pihak lain).

Pengertian dan Pembagian Dalalah
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjuk oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jarjani dalam kitab al-Ta’arif disebut dengan :
كيفية دلالة اللفظ على المعنى

Qath’i dan Thzonni
Secara garis besar dikalangan ahli uhsul fiqh dikenal dikotomi antara dalil Qath’i dan dalil Thzonni, baik dari segi eksistensinya (wurud) maupun penunjukannya (dalalah).
Dalil Qath’i adalah setiap nash yang mempunyai makna secara pasti dan jelas (tanpa ta’wil), baik ditinjau dari segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun dari segi dalalah (penunjukannya). Sedangkan dalil Thzonni adalah setiap nash yang mempunyai makna tidak pasti (dugaan=thzon) yang masih kemungkinan terjadi proses ta’wil (perubahan), baik dari segi wurud (keberadaannya) maupun dalalah (pemahaman dan penunjukkan maknanya).
Jika memahami nash-nash ditinjau dari segi Wurud (sebab datang dan turunnya) terbagi menjadi dua bagian :
1. Qhat’i al wurud
2. Thonni al wurud
Nash yang Qath’i al Wurud adalah nash-nash yang dilihat dari segi turunnya, ketetapannya dan penukilannya secara jelas dan pasti. Menurut Safi Hasan Abu Thalib bahwa nash- nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
هو ما نقل الينا بطريق التواتر 
Seperti al Qur’an bersifat Qath’i al Wurud sebab turunnya, ketetapannya dan penukilannya dilakukan mulai diturunkan Allah kepada Rasul-Nya yang disampaikan kepada umatnya secara estafet tanpa perubahan dan pergantian. Demikian juga as-Sunnah yang mutawatir bersifat Qath’i al Wurud, sebab periwatannya mutawatir (berlangsung terus menerus) mulai dari Rasul, para sahabat, tabi”in, ulama dan seterusnya sampai kepada kita. Di samping juga ada yang bersifat Thzonni al-Wurud (sunnah masyhur dan ahad). Nash yang Thzonni al-Wurud adalah nash-nash yang datang dan penukilannya belum jelas dan masih dalam dugaan. Safi Hasan Abu Thalib menyebutnya dengan :
هو الذي قد يثور شك حول ثبوته لانه لم ينقل الينا بطريق التواتر
Nash dalam kategori ini adalah hanya as-Sunnah yang masyhur dan ahad, meskipun sumber datangnya dari Rasulullah namun sanadnya tidak mendatangkan kepastian dan masih merupakan dugaan karena tidak dinukil secara mutawatir. Al-Qur’an dan as-Sunnah Mutawatir tidak termasuk dalam kelompok ini.
Adapun pemahaman nash-nash yang ditinjau dari segi dalalah (penunjukannya) juga terbagi menjadi dua bagian:
1. Qath’i al-Dalalah
2. Thzonni al-Dalalah
Nash yang Qath’i a-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan adanya makna, yang dapat dipahami dengan pemahaman tertentu, atau tidak mungkin menerima adanya ta’wil, atau tidak ada arti selain pemahaman dari makna tersebut . Safi Hasan Abu Thalib menjelaskan bahwa tema yang disebutkan ini ialah kelompok nash-nash yang hanya menunjukkan kepada pengertian yang satu saja atau tertentu.
هو النصوص التي لا تدل الا على معنى واحد
Sementara itu, Imam Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh menyebutnya dengan:
الفاظ بينة الدلالة واضعة لا تحتاج الى بيان
“Lafadz-lafadz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak memerlukan penjelasan lain.”
Al-Qur’an dan as-Sunnah keduanya juga mengandung pemahaman Qath’i al-Dalalah, namun hanya as-sunnah tingkat Mutawatir sajalah yang penunjukkannya (dalalah) sama dengan al-Qur’an. Sedangkan as-Sunnah yang di bawah peringkat mutawatir termasuk kelompok Thzonni al-dalalah, Adapun nash yang Thzonni al-Dalalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna, tapi memungkinkan di ta’wil atau dirubah dari makna asalnya menjadi makna yang lain. Baik al-Qur’an maupun as-Sunnah mengandung makna Thzonni al-Dalalah. Mengenai contoh dari keduanya akan dijelaskan pada pembahasan berikut.
Al-Qur’an dan Dalalahnya
Para ahli hukum Islam sepakat mengenai penggunaan al-qur’an sebagai sumber hukum yang utama dalam menentukan dan mengambil kesimpulanhukum. Mengenai tema-tema di atas dan hubungannya dengan nash al-Qur’an, maka seluruh nash al-qur’an adalah qath’i al-Wurud dari segi eksistensinya dan ketetapan turunnya karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya dari ayat yang pertama sampai ayat yang terakhir diturunkan. Akan tetapi ayat hukum yang lansung menunjukkan materi hukum sangat terbatas jumlahnya. Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa ayat-ayat hukum dalam bidang mu’amalat berkisar antara 230 sampai 250 ayat saja . Sedangkan jumlah ayat al-Qur’an seluruhnya lebih dari 6.000 ayat. Jadi, jumlah ayat hukum dalam al-qur’an sekitar 3-4% saja dari seluruh ayat al-Qur’an. Bahkan menurut Prof Dr. H. M. Rasjidi, ayat-ayat al-Qur’an kurang lebih 200 ayat, yakni sekitar 3% dari jumlah seluruhnya .
Selanjutnya, nash-nash al-Qur’an jika dilihat dari segi dalalah (penunjukkannya) bagi hukum di dalamnya, mengandung dua makna.
Pertama, Nash yang Qath’i al-dalalah yakni, nash yang menunjukkan makna yang pasti. Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan kepada Qath’i al-Dalalah ini, lafadz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat atau nama dan jenis .
Beberapa contoh al Qur’an yang Qath’I al-dalalah sebagai berikut :
“Dan bagimu (suami) mendapat seperdua harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak……. “(QS. An-Nisa':12)
Ayat tersebut berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Bahwa bagian suami (bila ditinggalkan mati istri) dengan keadaan tidak mempunyai anak, maka ia mendapat bagian seperdua, dan tidak bias dipahami dengan versi lain. Ayat diatas adalah Qath’I al dalalah, jelas dan tegas, karena terdapat kata (نصف = seperdua) yang tidak dapat dipahami dengan pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang di kehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu. 
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera......” (QS. an-Nur :2) =seratus dera), yakni menjatuhkan hukuman pidana terhadap hukum pidana terhadap pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan dengan had 100 kali dera, tidak kurang tidak lebih. 
“ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik(berbuat zina) dan mereka tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka daerah (jilid) mereka yang menuduh itu sebanyak delapan piluh kali derah.(QS. an-Nur :4)
Dalam ayat diatas terdapat kata-kata ( اربعة شهداء = empat orang saksi) yang menunjukan bilangan atau angka yang sudah pasti. Nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan seperti contoh diatas, para ulama ushul sepakat dan tak seorang pun menolaknya bahwa nash-nash yang qath’i al-dalalah itu sudah jelas dan pasti pengertiannya.
Kedua, Nash yang Thzonni al-dalalah yakni, menunjukan makna yang tidak pasti atau masih dugaan dan memungkinkan terjadi ta’wil. Menurut Safi Hasan Abu Thalib, bahwa nash-nash al-Qur’an yang dikatagorikan pada kelompok kedua ini adalah bila lafadz-lafadznya diungkapkan dalam bentuk umum,musytarak,dan mutlaq. Ketiga bentuk lafadz ini dalam kaidah ushuliyyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Secara kuantitas jumlah nash-nash al-Qur’an yang Thzonni al-dalalah lebih banyak dari nash yang qath’i al-dalalah, sehingga banyak menimbulkan interpretasi dan perdebatan dikalangan ulama ushul dalam mengambil kepastian hukum.

Beberapa contoh nash-nash al-qur’an yang Thzonni al-dalalah sebagai berikut :
“Dan wanita-wanita yang ditalaq (diceraikan) oleh suami mereka, hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’.(QS. Al-Baqarah : 228).
Yang menjadi persoalan di dalam ayat ini bukan tiga kali quru’nya, jumlah tiga kali itu sudah jelas tapi lafadz قروء itu sendiri. Lafadz قروء jamak dari قرء adalah musytarak, yaitu mengandung arti lebih dari satu; ada yang mengartikan dengan haid ( حيض) dan ada juga yang mengartikan dengan suci ( طهر) . Keduanya dari arti lafadz قروء akan menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda. Maksudya jika قروء berarti’suci’ maka wanita yang ditalak suaminya itu harus menunggu tiga kali suci dan tentu masa’iddahnya lebih lama atau lebih panjang dari pada arti haid. Hal ini karena penghitunganya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafadz قروء berarti ‘haid’. Artinya, jika wanita yang ditalak oleh suaminya itu telah nyatadan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci.
Sementara itu dikalangan syafi’iyah berpendapat bahwa lafadz قروء berarti suci, karena qarinahnya menunjukan kata bilangan muannats (jenis perempuan) sedangkan yang dibilang (al-ma’dud) itu adalah mudzkar yaitu( طهر).
“Allah tiadak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu adalah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”(QS.al-Maidah : 89).
Dari kata اللغو pada ayat diatas, para fuqoha telah berbeda pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa pengertian اللغو ialah sumpah terhadap sesuatu yang disangka terjadi, tapi kenyataanya tidak. Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud اللغو ialah sumpah yang tidak bertujuan untuk memperkuat ucapan. Misalnya dalam suatu ucapan seseorang mengatakan : “ya, demi allah,” (la wallahi),kata-kata tersebut telah biasa diucapkan tanpa memliki konotasi sebagai sumpah.
Dengan demikian dalalah kalimat اللغو adalah bersifat Thzonni. Demikian pula kalimat (عقدتم = sumpah yang disengaja) juga diperselisihkan para ulama . Juga puasa tiga hari, apakah berturut-turut atau tidak.
Masih banyak contoh lain yang harus dipahami dari nash-nash yang menunjukkan Thzonni al-Dalalah. Karena menurut kuantitasnya, nash-nash al-qur’an yang dikategorikan kepada Thzonni al-Dalalah ini jumlahny lebih besar dari Qath’i al-Dalalah. Maka sebuah keniscayaan jika kemudian terjadinya banyak perbedaan pendapat dikalangan mujtahid dalam mengambil kepastian hukumnya, serta beragamnya produk hukum yang dihasilkan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, sehingga memenuhi khazanah intelektual muslim dalam bebagai bidang ilmu, mulai dari bidang Tafsir dan Hadits sampai bidang Filsafat, Teologi dan Hukum Islam. Dalam hubungan ini Harun Nasution secara ilustratif menyatakan :
 “Kelompok ajaran islam itu kecil dizaman nabi, lebih besar di zaman Khulafaurrasyidin, lebih banyak lagi di zaman Usman, begitulah selanjutnya berkembang. Akan tetapi Qur’annya itu-itu juga.
Sunnah dan Dalalahnya 
Sebelum menentukan apakah sunnah dalalah Qath’i atau Thzonni, hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu bagian dari beberapa sunnah. Dalam pembahasan ini yang harus diketahui dari pembagian sunnah adalah ditinjau dari segi jumlah periwayatannya. Menurut para ulama bahwa sunnah dibagi menjadi tiga tingkatan :
  1. Sunnah Mutawatir, yaitu sunnah (khabar) yang disampaikan secara berkesinambungan oleh orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
  2. Sunnah Masyhur, yaitu sunnah yang diterima nabi oleh beberapa orang Sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang selanjutnya disampaikan juga kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas Sunnah Mutawatir.
  3. Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidak sampai kepada derajat mutawatir atau yang diriwayatkan oleh seseorang atau dua orang atau kelompok orang yang telah mencapai derajat mutawatir.

Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah bahwa, Sunnah Mutawatir diterima dan disampaikan dari pangkal sampai keujung secara mutawatir, Sunnah Masyhur diterima dan disampaikan pada tingkat awal secara perorangan, kemudian dilanjutkan sampai keujungannya secara mutawatir. Sedangkan Sunnah Ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke ujungnya secara perorangan .
Selanjutnya, dari beberapa bagian dari Sunnah yang ada tiga tersebut dapat dikatagorikan bahwa, jika dilihat dari segi eksistensinya (Wurud) Sunnah sebagai dasar dalam penetapan hukum, maka ia dikelompokkan menjadi Qath’i al-Wurud dan Thzonni al-Wurud.
Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa, Sunnah Mutawatir adalah Qath’i al-Wurud dari Rasulullah. Sebab mutawatirnya periwayatan itu dapat melahirkan ketetapan dan kepastian tentang kebenaran suatu riwayat . Dengan kata lain, Sunnah Mutawatir ini periwayatannya dilakukan oleh orang banyak dan disampaikan kepada orang banyak pula sehingga tidak mungkin akan terjadinya kebohongan kolektif.

Sementara itu, Sunnah yang dikategorikan kepada Thzonni al-Wurud adalah Sunnah Masyhur dan Ahad. Keduanya - Masyhur dan ahad- dilihat dari segi periwayatan atau penukilannya dari nabi tidak mencapai tingkat mutawatir. Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa, Sunnah Masyhur adalah qath’i al-wurud dari seorang sahabat yang menerima riwayat dari rasulullah, karena tawaturnya penukilan dari mereka, tetapi belum tentu datang dari rasulullah, sebab yang pertama kali yang menerima bukan kelompok tawatur.sehingga fuqaha Hanafiyah mengatakan bahwa Sunnah Masyhur termasuk Sunah Mutawatir yang demikian keumuman al-Qu’an ditakhsis dan kemutlakannya diberi batasan (taqyid) karena riwayat tersebut Qath’i al-wurud datang dari sahabat. Adapun Sunnah Ahad adalh Thzonni al-wurud dari Rasulullah karena sanadnya tidak mendatangkan kepastian.
Kemudian, Sunnah dilihat dari segi dalalah (penunjukannya) dapat dibedakan kepada Qath’i al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) tidak mungkin dita’wilkan, yakni sunnah yang dalalahnya mengandung pengertian makna yang pasti dan jelas. Sebagai contoh, dalam hadits disebutkan cara rasulullah berwudhu dengan membasuh anggota wudhu masing-masing tiga kali ثلاث مرات) ) kecuali mengusap kepala. Dalam kata (ثلاث مرات) itu menunjukkan pengertian Qath’i (pasti) dan tidak dapat diartikan kepada pengertian lain selain yang dikehendaki. Dan Sunnah yang Thzonni al-Dalalah jika nash (makna lafadznya) mengandung pengertian makna yang mungkin terjadi ta’wil dan terdapat pengertian lain selain yang dikehendaki. Misalnya hadits tentang bacaan al fatihah dalam shalat.
لا صلاة لمن لم يقراء بفاتحة الكتاب 
“tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al fatihah”.
Membaca al fatihah dalam shalat dalalahnya Thzonni. Sebagaiman dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bahwa bacaan alfatihah ini dikalangan ulama menimbulkan perdebatan. kalangan jumhur fuqaha berpandapat bahwa tidak sah bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah dalam shaltnya. Sementara itu kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa hadits diatas adalah Thzonni al-Dalalah, karena ada kemungkinan mengandung arti lain, yaotu bukan tidak sah shalat seseorang ia jika tidak membaca al-fatihah, tetapi menunjukkan pengertian tidak sempurna . Dengan demikian, bahwa nash-nash yang yang Thzonni al-Dalalah memberi peluang untuk dita’wilkan atau diartikan dengan pengertian lain selain dari dasar yang dikandungnya.

KESIMPULAN
Atas dasar ini. Jika diadakan perbandingan antara nash-nash al-Qur’an dengan as-sunnah dilihat dari segi Qath’i dan Thzonni, maka al-Qur’an seluruh nashnya adalah Qath’i al-Wurud, sedangkan dalalahnya ada yang Qathi al dalalah dan ada yang Thzonni al-dalalah. 
Adapun as-sunnah ada yang qath’i al-wurud dan ada yang Thzonni al –wurud jika dilihat dari segi eksistensinya (keberadaan). Disamping itu, dari segi dalalah (penunjukkannya) ada yang Qath’i al-dalalah dan ada juga yang Thzonni al-dalalah.  (Al Faqir Muhtar Lutfi, S. H. I)


Selasa, 14 Juni 2016

MENCARI BARANG HILANG DI MASJID


Kehilangan barang karena kelupaan ketinggalan, karena diambil orang lain atau mungkin ketukar dengan orang lain  barang yang orang miliki. Sering terjadi di tempat umum  dimana orang yang datang dalam jumlah banyak. Tak terkecuali masjid, orang yang akan beribadah di  masjid dengan melepas alas kaki sandal,  sepatu atau barang lainnya seperti kunci, dompet, jam tangan dan lain sebagainya.  
Apabila di tempat barang-barang bawaan ada yang hilang  seperti kondisi di atas, dengan mudah orang akan minta bantuan pada petugas untuk mengumumkan berita kehilangan syah-syah saja. Tapi apabila kehilangan barang bawaan di  masjid Rasulullah bersabda:
« من سمع رجلا ينشد ضالته في المسجد فليقل: لا ردها الله عليك »

Barangsiapa mendengar seseorang mencari-cari barang hilang di masjid, maka katakanlah, “Allah tidak mengembalikan barang tersebut kepadamu.” (HR. Muslim 568)
“Mencari barang hilang dengan mikrofon di dalam masjid HUKUMNYA TIDAK BOLEH.  Meskipun tujuannya adalah kebaikan dan manfaat, namun selama itu dilakukan di dalam masjid MAKA HUKUMNYA TETAP TIDAK BOLEH, karena tercakup dalam keumuman hadits  tersebut di atas.
Rasulullah bersabda :
« إذا رأيتم من يبيع أو يبتاع في المسجد فقولوا لا أربح الله تجارتك »
Apabila kalian melihat seseorang menjual atau membeli di masjid, maka katakanlah “Allah tidak akan menjadikan untung pada perdaganganmu!” (HR. at-Tirmidzi 1321)
Adapun menulis pengumuman di kertas, apabila ditempel di dinding di luar masjid, maka tidak mengapa. Adapun apabila DI DALAM MASJID, maka TIDAK BOLEH. Karena pengumuman di kertas itu menyerupai ucapan, di samping itu akan menyibukkan orang itu melihat-lihat kembali pengumuman di kertas itu dan membacanya.
Apa yang bisa kita lakukan ikhlaskanlah, jangan sampai masjid menjadi media atau kambing hitam suatu kesalahan. Namun demikian dari Ta'mir masjid sering menemukan barang-barang milik jamaah yang tertinggal  melalui mikropon syah-syah saja. Bagi orang yang kehilangan bisa juga menanyakan pada tamir masjid dan tidak berniat dzon. Mempergunjingkan, menjadi bahan tertawaan kehilangan barang seperti sandal di masjid adalah  perbuatan yang mencoreng muka kita sendiri.