Senin, 27 April 2015

QUNUT SHUBUH TIDAK HARUS DIIKUTI MA'MUM

qunut shubuh pada imam dan ma'mum
IMAM QUNUT SUBUH MAKA SANG MAKMUM JUGA HARUS QUNUT SUBUH? (PADAHAL SANG MAKMUM MEYAKINI TIDAK DISYARI'ATKANNYA QUNUT SUBUH)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus paham apa saja perkara-perkara yang sang makmum harus mengikuti imam dan tidak boleh menyelisihinya?

nash yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah sabda Nabi
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ

"Hanyalah dijadikan imam adalah untuk diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka sholatlah kalian (wahai para mekmum-pent) berdiri juga, jika imam ruku' maka ruku'lah kalian, dan jika imam bangkit maka bangkitlah, dan jika imam berkata "Sami'allahu liman hamidahu" ucapkanlah "Robbanaa wa lakalhamdu". Jika imam sholat berdiri maka sholatlah berdiri, dan jika imam sholat duduk maka sholatlah kalian seluruhnya dengan duduk" (HR Al-Bukhari no 657)

Rasulullah juga bersabda:
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا ...

"Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian…" (HR Al-Bukhari no 689)

Ibnu Hajar berkata, "Dan kondisi pengikut (makmum) adalah tidak mendahului orang yang diikutinya (imam), dan juga tidak menyertainya, dan juga tidak berdiri lebih maju di hadapannya, akan tetapi ia memperhatikan gerakan dan kondisi sang imam lalu ia segera menyusul sebagaimana gerakan sang imam"  (Fathul Baari 2/178)

Berkata An-Nawawi : "Hadits ini dalil akan wajibnya makmum untuk mengikuti imam dalam takbir, berdiri, duduk, ruku', sujud, dan hendaknya ia melakukannya setelah imam. Maka ia bertakbirotul ihroom setelah imam selesai bertakbirotul ihrom. Jika bertakbirotul ihrom sebelum imam bertakbirotul ihrom maka tidak sah sholatnya. Ia ruku' setelah imam mulai ruku' dan sebelum imam berdiri dari ruku'. Jika ia menyertai imam (dalam ruku'-pent) atau mendahului imam maka ia telah berbuat keburukan akan tetapi sholatnya tidak batal. Demikian juga sujud. Dan ia member salam setelah imam selesai salam, jika ia salam sebelum imam salam maka sholatnya batal, kecuali jika ia berniat untuk memisahkan diri dari jama'ah sholat. Dan ada khilaf dalam permasalahan ini..." (Al-Minhaaj 4/131)

An-Nawawi juga berkata, "Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti maka maknanya menurut Imam As-Syafi'i dan sekelompok ulama yaitu (diikuti) pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir (nampak), karena boleh saja seseorang yang sholat fardu bermakmum kepada orang yang sholat sunnah dan sebaliknya, demikian juga seorang yang sholat asar bermakmum kepada orang yang sholat dzuhur dan sebaliknya.

Malik dan Abu Hanifah radhiallahu 'anhumaa dan para ulama yang lain berkata bahwasanya hal ini tidak diperbolehkan. Mereka berkata bahwasanya makna hadits adalah imam diikuti pada gerakan-gerakan dan juga pada niat (jadi niat harus sama antara imam dan makmum-pent). As-Syafii –radhiallahu 'anhu- dan para ulama yang sepakat dengannya berdalil dengan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami (dua kelompok dari) para sahabat di Batn Nakhl tatkala sholat khouf dua kali, sekali bersama kelompok pertama dan yang kdua bersama kelompok yang kedua. Maka sholat beliau yang kedua adalah sunnah adapun (para sahabat dari kelompok yang kedua) yang bermakmum di belakang Nabi sholat mereka adalah fardhu. Demikian juga hadits Mu'adz tatkala beliau setelah sholat isya bersama Nabi maka beliaupun setelah itu mendatangi kaum beliau lalu mengimami mereka, maka sholat tersebut sunnah di sisi Mu'adz dan wajib di sisi kaumnya.

Hal ini menunjukan bahwa mengikuti imam hanya wajib pada perbuatan-perbuatan (gerakan-gerakan) yang dzohir 


Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang lebih menguatkan pendapat Imam An-Nawawi ini (madzhab As-Syafi'i) bahwasanya kewajiban mengikuti imam yang pada gerakan-gerakan yang dzhohir karena yang disebutkan oleh Nabi dalam hadits adalah ruku', takbir, bangkit dari ruku' dan semacamnya, adapun niat maka tidak disebutkan dalam hadits (lihat Fathul Baari 2/178)


Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa makmum hanya wajib mengikuti gerakan-gerakan dzohir sang imam, jika sang imam bertakbir maka ia bertakbir pula, jika imam rukuk maka ia segera ruku' juga dan demikian juga jika imam duduk atau berdiri. Hal ini dimaksudkan agar makmum tidak mendahului imam atau terlambat mengikuti imam.

Adapun gerakan-gerakan yang tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam berupa mendahului atau keterlambatan maka tidak wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.

Sebagai contoh jika sang imam tatkala duduk tasyahhud sholat subuh dengan tawarruk sedangkan sang makmum meyakini sunnahnya duduk iftirosy maka tidak wajib bagi sang makmum untuk meniru cara duduk sang imam. Karena hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan penyelisihan berupa mendahului atau keterlambatan.

Demikian juga jika ternyata sang imam tidak menggerak-gerakan jarinya sementara sang makmum meyakini sunnahnya menggerak-gerakan jari tatkala tasyahhud maka tidak wajib bagi sang makmum untuk mengikuti sang imam.

Syaikh Al-'Utsaimiin berkata, "Adapun perkara yang mengantarkan kepada penyelisihan imam maka imam harus diikuti (tidak boleh diselisihi-pent), adapun perkara yang tidak menyelisihi imam –seperti mengangkat kedua tangan tatkala hendak ruku' jika ternyata sang imam tidak mengangkat kedua tangannya sedangkan makmum memandang disyari'atkannya mengangkat kedua tangan- maka tidak mengapa bagi makmum untuk mengangkat kedua tangannya. Karena hal ini tidak mengakibatkan penyelisihan terhadap imam atau keterlambatan (dalam mengikuti imam).

Demikian juga halnya dalam masalah duduk, jika imam tidak duduk tawarruk sedangkan sang makmum memandang disyari'atkannya duduk tawarruk atau sebaliknya maka sang makmum tidak mengikuti sang imam, karena sang makmum tidak menyelisihi sang imam dan juga tidak terlambat (dalam mengikuti sang imam). (Majmuu' Fataawaa wa rosaail As-Syaikh Al-'Utsaimiin15/79)


Bagaimana jika sang imam tidak duduk istirahat?


Jika sang imam tidak duduk istirahat tatkala bangkit ke rakaat ke dua atau ke rakaat ke empat, sedangkan makmum memandang disyari'atkannya hal ini, maka apakah makmum tetap boleh duduk istirahat menyelisihi imam? Dan bagaimana jika perkaranya sebaliknya?

Syaikh Al-'Utsaimiin rahimahullah berkata, "Adapun jika (penyelisihan gerakan-pent) mengakibatkan keterlambatan makmum –misalnya makmum memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang imam tidak- maka makmum tidak duduk istirahat. Karena jika sang makmum duduk istirahat maka ia akan terlambat dari imam, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kita untuk bersegera dalam mengikuti imam, beliau bersabda, "Jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, dan jika imam ruku maka ruku'lah…". Demikian juga jika perkaranya sebaliknya. Jika imam memandang disyari'atkannya duduk istirahat sementara sang makmum tidak, maka jika imam duduk istirahat  hendaknya sang makmum juga duduk meskipun sang makmum tidak memandang disyari'atkannya duduk istirahat, namun demi mengikuti imam. Inilah kaidah dalam mengikuti imam, yaitu makmum tidak melakukan hal yang menyebabkan penyelisihan atau keterlambatan. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Telah valid bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk istirahat, akan tetapi para ulama berselisih antara apakah Nabi melakukannya karena beliau sudah tua sehingga butuh untuk duduk istirahat?, ataukah Nabi melakukannya karena duduk istirahat merupakan sunnah dalam sholat?. Barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan kedua maka menganggap duduk istirahat hukumnya mustahab sebagaimana pendapat As-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad. Dan barangsiapa yang berpendapat dengan kemungkinan pertama maka tidak menganggap mutahabnya duduk istirahat kecuali jika memerlukannya sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Malik, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Barangsiapa yang melakukan duduk istirahat maka tidak boleh diingkari meskipun posisinya sebagai makmum (sementara imam tidak melakukannya) karena keterlambatannya mengikuti (imam yang tidak duduk istirahat) hanya sedikit dan tidak termasuk keterlambatan yang dilarang –menurut mereka yang berpendapat akan mustahabnya duduk istirahat-. Bukankah ini perbuatan yang merupakan perkara ijtihad? Karena sesungguhnya telah bertentangan antara melakukan sunnah ini –yaitu menurutnya- dengan bersegera mengikuti imam?, sesungguhnya mengikuti imam lebih utama daripada terlamabat. Akan tetapi keterlambatan tersebut hanya sedikit, maka perkaranya seperti jika imam berdiri dari tasyahhud awal sebelum makmum menyelesaikan (bacaan) tasyahhud awal padahal makmum memandang mustahabnya menyempurnakan bacaan tasyahhud awal (sehingga akhirnya sang makmum terlambat beridiri-pent). Atau seperti jika imam salam padahal sang makmum masih ingin berdoa sedikit lagi, apakah sang makmum segera salam ataukah menyempurnakan dahulu doanya?. Permasalahan-permasalahan seperti ini termasuk permasalahan ijtihad, dan yang paling kuat adalah bersegera mengikuti imam lebih utama dari pada terlambat karena melakukan perkara yang mustahab. Wallahu A'lam


Bagaimana jika sang imam qunut subuh?

Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ "Hanyalah dijadikan imam untuk diikuti" dan juga bersabda لاَ تَخْتَلِفُوْا عَلَى أَئِمَّتِكُمْ  "Janganlah kalian menyelisihi imam-imam kalian", dan telah valid juga dalam shahih bahwasanya beliau bersabda يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوْا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ، وَعَلَيْهِمْ  "Mereka (para imam) sholat bagi kalian, jika mereka benar maka pahalanya buat kalian dan buat mereka, dan jika mereka salah maka pahalanya bagi kalian dan kesalahan bagi mereka. Bukankah jika imam membaca surat setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang terakhir dan memanjangkan bacaan surat tersebut maka wajib bagi makmum untuk mengikutinya (menunggunya-pent)?. Adapun mendahului imam maka hal ini tidak diperbolehkan, maka jika imam qunut maka tidak boleh makmum mendahuluinya, akan tetapi harus mengikuti imam. Oleh karenanya Abdullah bin Mas'uud mengingkari Utsman karena sholat empat rakaat (tatkala safar-pent) akan tetapi beliau sholat empat rakaat diimami oleh Utsman. Maka dikatakan kepada beliau kenapa beliau berbuat demikian, maka beliau berkata الخِلاَفُ شَرٌّ Perselisihan itu buruk" (Al-Fataawa Al-Kubro 1/229)

Beliau juga berkata, "Wajib bagi makmum untuk mengikuti imam pada perkara-perkara yang diperbolehkan ijtihad msekipun sang makmum tidak sependapat. Sebagaimana jika imam qunut subuh atau menambah jumlah takbir tatkala sholat janazah hingga tujuh kali. Akan tetapi jika sang imam meninggalkan satu perkara yang perkara tersebut menurut makmum adalah rukun atau syarat sholat maka ada khilaf (apakah makmum tetap mengikuti imam atau tidak?-pent)" (Jaami'ul Masaail 5/388)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ 4/86)

Senin, 20 April 2015

KYAI NU A.H. BAIDLOWI TEGAS TERHADAP SYIAH

Bagi masyarakat Rembang, nama KH Abdul Hamid Baidlowi sudah tidak asing lagi. Banyak warga yang mengenal namanya karena beliau merupakan putra ulama besar asal Lasem, KH Baidlowi (almarhum) yang semasa hidupnya pernah menjadi Rais Akbar Tariqah Se-Indonesia.
KH. Abdul Hamid BaidlowiSelain itu, ayah KH Abdul Hamid Baidlowi merupakan pencetus waliyul amri addlaruri bissyaukah, gelar yang diberikan kepada Bung Karno, presiden pertama RI. Bahkan kiai itu masuk dalam catatan sejarah, karena ikut andil dalam mendirikan NU.
Namun, ketenaran KH Hamid Baidlowi bukan hanya karena pengaruh kebesaran nama orang tuanya. Yang jelas, kiai itu sejak kecil suka bergaul, baik di dalam masyarakat maupun organisasi, terutama yang berkaitan dengan pengembangan Islam.
Apalagi setelah dewasa, namanya makin dikenal oleh masyarakat luas karena kiprahnya dalam dunia politik, terutama saat NU masih menjadi partai politik.
Pada zaman Orde Baru, nama KH Hamid Baidlowi juga sering muncul di koran-koran, baik koran daerah maupun nasional. Sebab, pada saat itu dia berani terang-terangan masuk jajaran pengurus PBNU pimpinan Abu Hasan yang merupakan tandingan PBNU pimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Karena kiprahnya dalam dunia politik, kediaman pengasuh Pondok Pesantren Al Wahdah itu sering dikunjungi pejabat tingkat nasional. Antara lain Sudharmono (saat menjabat wapres/Ketua Umum DPP Golkar), H Harmoko saat menjabat Menteri Penerangan, bahkan Akbar Tanjung dan Munawir Sadjzali.
KH. Abdul Hamid Baidlowi juga pernah menyampaikan sebuah makalah ilmiah pada acara pertemuan Ulama dan Habaib di Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah Jakarta pada tanggal 14 Rajab 1416 H/ 7 Desember 1995 M. yang berjudul: “Kritik Terhadap Gus Dur dan Sa’id Aqil” dan makalah beliau yang berjudul: “Menyiasati Bahaya Syi’ah di Kalangan Nahdlatul Ulama di penghujung Abad Ini” yang disampaikan pada acara sarasehan IPNU-IPPNU cabang Jombang pada tanggal 1 Shafar 1417 H/ 17 Juni 1996 M.
Makalah tersebut hadir di saat umat Islam mulai resah atas bahaya pemikiran Gus-Dur yang pada saat itu berkapasitas sebagai Ketua Umum organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan membongkar kerancauan ideologi Syi’ah Rafidloh yang dipasarkan lewat pemikiran Said Aqil Siradj yang pada saat itu menjabat Katib Am Nahdlatul Ulama. Mereka mencoba menyesatkan umat Islam dari ajaran yang benar, ajaran yang bertentangan dengan nash-nash al-Quran, Sunnah Rasul dan ajaran-ajaran Salafussholih.
Saat ini, KH Abdul Hamid Baidlowi kini menghabiskan masa senjanya dengan mengasuh putra-putri didiknya di Pondok Pesantren Al-Wahdah, Lasem, Rembang [sdqfajar/dbs]

Sabtu, 18 April 2015

BATU JUMROH TIDAK DIBAWA PULANG KE KAMPUNG

Bagian Kepala bidang PPIH Arab Saudi mengingatkan kepada semua jamaah haji dari indonesia untuk tidak membawa pulang batu kerikil muzdalifah ke indonesia dengan berbagai macam alasanpun apalagi hendak menggunakan batu  sebagai jimat.
Hal ini dibenarkan oleh suramat Kepala Bindang Bimbingan Haji dimana banak umat  yang berperilaku demikian “menganggap batu kecil Muzdalifah sebagai batu yang dapat membawa berkah dengan menyimpan batu tersebut. batu kecil yang biasa digunakan untuk melempar jumrah diyakini sebagai jimat yang ampuh serta ada juga pihak yang menggunakan batu tersebut sebagai kenang kenangan. Dengan alasan apapun baik logis maupun tidak logis, mengambil barang yang bukan haknya selama di tanah suci adalah perbuatan yang tidak diperkenankan apalagi batu tersebut tidak mempunyai manfaat.
Hasil gambar untuk departemen agama ri batu jumbroh jangan di bawa pulangDi tempat muzdalifah yang terletak diantara ma zamain dan muhassir, para jamaah wajib mengambil batu kerikil kecil untuk dilempar jumarah di mina sebanyak minimal 7 batu. Batu kecil yang dikumpulkan adalah sebesar biji kacang. Di Musdalifah yang luasnya sekitar 12 kilometer persegi ini memiliki rambu rambu batas awal dan akhir dari Muzdalifah. Dimana parah Jamaah berangkat ke Muzadalifah setelah melakukan  wukuf di Arafah pada Kamis (25/10) atau 9 Zulhijjah setelah matahari terbenam sambil membaca talbiyah. Di Muzdalifah sendiri parah jamaah disarankan untuk terus melakukanl Salat Maghrib dan Isya dengan jama’ dan qhasar lalu mulai menetap hingga Subuh. Sehingga setelah usai sholat,maka anda diimbau untuk mulai memperbanyak doa dan zikir hingga hari tampak mulai terang, sambil menghadap ke arah kiblat dan mengangkat kedua tangan, mengikuti tuntunan Rasulullah SAW bergerak ke arah Mina.


FADILAH BACAAN SURAT YASIN DAN HUKUMNYA

Di masyarakat kita   Yasinan yang berart membaca surat Yasin sangat-sangat dianjurkan oleh beberapa Kyai. Banyak pula majlis-majlis yang hanya membaca surat Yasin atau Yasinan, belum lagi satu tingkat lebih atas bila jama'ah hafis surat Yasin. Sungguh suatu Ibadah yang baik.  Pada acara tertentu  mentalqin orang yang lagi sakaratul maut dengan yasinan,  di malam pertama kematian seseorang pada acara tahlilah atau kirim  pahala juga yasinan sampai 3 hari. Di malam jum'at jelas suatu yasinan sudah dijadikan sunnah muakad di beberapa rumah tak terkecuali rumah penulis  sendiri istri sering membaca surat Yasin hanya saja istri pahalanya diperuntukkan pada ayah almarhum. Melihat dari ibadah seperti Yasinan ini penulis tergerak untuk mencari dalil yang syar'i dan shoheh untuk menjadi pedoman dalam beribadah.
HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN
Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena sebagaimana dikemukakan diatas fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.
Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).
HADITS DHA’IF (Lemah) dan MAUDHU’ (Palsu)
Adapun hadits-hadits yang semuanya dha’if (lemah) dan atau maudhu’ (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :
1. ” Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya”.(Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at, 1/247).
Keterangan :
Hadits ini Palsu.
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya.
Imam Daruquthni berkata : Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa : Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).
2. ” Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya”.
Keterangan :
Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa : Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).
3. ” Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid”.
Keterangan :
Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa :Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).
4. ” Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya”.
Keterangan :
Hadits ini Lemah.
diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.(Periksa : Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
5. “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali”. (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan :
Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).
6. “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali”. (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan :
Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani).
7. “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali”.
Keterangan :
Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 3048) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman.
Ayah Ibnu Abi Hatim berkata : Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa : Silsilah HaditsDha’if No. 169, hal. 202-203)
Imam Waqi’ berkata : Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i : Muqatil bin Sulaiman sering dusta.(Periksa : Mizanul I’tidal IV:173).
8. “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi”.
Keterangan :
Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar : Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa :Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283).
9. “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu”.
Keterangan :
Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).
10. ” Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya”.
Keterangan :
Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa : Mizanul I’tidal IV : 90-91).
Penjelasan
Abdullah bin Mubarak berkata : Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu).
Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata : Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri.
Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur’an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur’an. (Periksa : Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha’if,hal. 113-115).
Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini.
Bacaan Surat Yasin Bukan Untuk Orang Mati
HADITS PERTAMA   
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَاقْرَؤُوْهَا عِنْدَ مَوْتَاكُمْ.
“Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari ke-ridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]
Keterangan: HADITS INI (ضَعِيْفٌ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).
HADITS KEDUA
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلَّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ.
“Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.”
Keterangan: HADITS INI (مَوْضُوْعٌ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/91) dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.
Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).
Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yangBATHIL.”
Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”
Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).
Penjelasan Hadits-Hadits di Atas
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika ber-ziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang me-nganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, se-bagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah ber-buat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerang-kan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur-an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.
Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam Ketika Ada Orang Yang Sedang Dalam Keadaan Naza’
Pertama: Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar
ia (orang yang akan mati) mengucapkan “لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (Laa Ilaaha Illallah).”
Dalilnya:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ.
“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati di an-tara kalian.”
Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa-i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.”
Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.
Kedua: Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepa-
da mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.
Dalilnya:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيْضَ أَوِ الْمَيِّتَ فَقُوْلُوْا: خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يُؤَّمِّنُوْنَ عَلَى مَا تَقُوْلُوْنَ.
“Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’”
Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.)
Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ketika Berziarah Ke Pemakaman Kaum Muslimin
Pertama: Mengucapkan salam kepada mereka.
Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.
‘Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”
Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa-i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim.
Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
‘Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”
Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah.
Kedua: Mendo’akan serta memohonkan ampunan bagi mereka.
Dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَدْعُوْ لَهُمْ فَسَأَلَتْهُ عَائِشَةُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَ لَهُمْ.
“‘Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”
Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252).
Baca Al-Qur-an Di Pemakaman Menyalahi Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.
‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur-an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.
Menurut ilmu ushul fiqih:
تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ.
“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”
Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur-an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang ma-salah itu.
Membaca al-Qur-an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur-an di rumah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ .
رواه مسلم رقم : (780) وأحمد والتّرميذي وصححه
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena se-sungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.”
Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahih-kannya.
Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur-an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, kita dianjurkan membaca al-Qur-an dan shalat-shalat sunnat di rumah.
Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur-an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:
Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”
Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (II/264), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 241-242).
Pahala Bacaan Al-Qur-an Tidak Akan Sampai Kepada Si Mayyit
Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [QS. An-Najm: 53]
Beliau rahimahullah berkata:
أَيْ: كَمَا لاَ يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لاَ يَحْصُلُ مِنَ اْلأَجْرِ إِلاَّ مَاكَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ الكَرِيْمَةِ اسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَهُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لاَ يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى الْمَوْتَى، ِلأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَمَلِهِمْ وَكَسْبِهِمْ وَلِهَذَا لَمْ يَنْدُبْ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ، وَلاَ حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلاَ أَرْشَدَهُمْ إِلَيْهِ بِنَصٍّ وَلاَ إِيْمَاءٍ، وَلَمْ يُنْقَلْ ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَوْ كَانَ خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ، وَبَابُ الْقُرَبَاتِ يُقْتَصَرُ فِيْهِ عَلَى النُّصُوْصِ، وَلاَ يُتَصَرَّفُ فِيْهِ بِأَنْوَاعِ اْلأَقْيِسَةِ وَاْلأَرَاءِ.
“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur-an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.
Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabat pun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”
Periksa Tafsir Ibni Katsir (IV/272), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.
Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).
Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220-221), cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.
Allah berfirman tentang al-Qur-an:
“Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]
Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan me-lakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, ber-nadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena)
mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” [2]
Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.
“Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”[3]
Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[4]
Wallaahu a’lam bish shawab.
MARAJI’
1.Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
2. Shahih al-Bukhary.
3. Shahih Muslim.
4. Sunan Abi Dawud.
5. Sunan an-Nasaa-i.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad Imam Ahmad.
8. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
10. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
11. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
12. Misykatul Mashabih, tahqiq: Imam Muhammad Na-shiruddin al-Albany.
13. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
14. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
15. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
16. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
17. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq dan ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Muham-mad Zuhair asy-Syawaisy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1403 H.
18. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
Sumber :
Kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Islam kaffah
_______
Catatan Kaki
[1]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid hal. 18: “Sebab kekufuran anak Adam dan mereka meninggalkan agama mereka adalah karena ghuluww (berlebihan) kepada orang-orang shalih.” Dan bab 19: “Ancaman keras kepada orang yang beribadah kepada Allah di sisi kubur orang yang shalih, bagaimana jika ia menyembahnya??!” Ditulis oleh Syaikh ‘Ab-durrahman bin Hasan Alu Syaikh, wafat th. 1285 H, tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Alu Furayyan.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 435, 1330, 1390, 3453, 4441), Muslim (no. 531) Ahmad (I/218, VI/21, 34, 80, 255), dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
[3]. HR. Al-Bukhari (no. 1189) dan Muslim (no. 1397 (511)) dari Abu Hu-rairah radhiyallahu ‘anhu dan diriwayatkan juga oleh al-Bukhari (no. 1197, 1864, 1995) dan Muslim (no. 827) dari Abu Sa’id al-Khudri ra-dhiyallahu ‘anhu, derajatnya mutawatir. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/226, no. 773).
[4]. Silahkan merujuk kepada kitab saya Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah hal. 97-99.
LEMAHNYA SEMUA HADITS TENTANG YASINKita sangat gembira dengan banyaknya orang yang hafal Surat Yasin, tetapi kita yakin tentunya ada beberapa faktor yang mendorong kaum mus­limin menghafal surat tersebut. Setelah diperiksa, ternyata memang ada faktor pendorongnya, yaitu beberapa hadits yang menerangkan keutamaan dan ganjaran bagi orang yang membaca Surat Yasin. Akan tetapi, semua hadits yang menerangkan Su­rat Yasin lemah.Kami akan menyebutkan dan menjelaskan se­bagian hadits tersebut supaya kaum muslimin me­ngetahui bahwa hadits-hadits tersebut tidak bisa dipakai sebagai hujjah meskipun untuk fadho’il a’mal (keutamaan amalan).
1. Surat Yasin, Jantungnya al-Qur’an
إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا وَإِنَّ قَلْبَ الْقُرْآنِ يَس، مَنْ قَرَأَ هَا فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ عَشْرَ مَرَّاتٍ
“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki jantung, dan jantungnya al-Qur’an adalah Surat Yasin, barang siapa membacanya maka dia seakan membaca al-Qur’an sepu­luh kali.”
MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan at-Tirmidzi: 4/46, ad-Darimi: 2/456 dari Humaid bin Abdur­rahman dari Hasan bin Sholih dari Harun Abu Mu­hammad dari Muqotil bin Hayyan dari Qotadah dari Anas secara marfu’. Sanad ini lemah sekali, bahkan maudhu’ karena Harun Abu Muhammad adalah pendusta. Dalam al-Ilal: 2/55-56 dinukilkan ucapan Abu Hatim bahwa hadits ini batil.1
——————————————————————————–
1 Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 169
2. Yasinan Malam Jum’at
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يَس فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ غُفِرَلَهُ
“Barang siapa membaca Surat Yasin pada malam Jum’at akan diampuni.”
LEMAH SEKALI. Dikeluarkan al-Ashfahani dalam at-Targhib wat-Tarhib: hlm. 244 dari jalur Zaid bin Huraisy dari Aghlab bin Tamim dari Ayyub dan Yunus dari Hasan dari Abu Huroiroh. Sanad ini le­mah sekali. Kecacatannya pada Aghlab bin Tamim. Ibnu Hibban berkata: “Mungkar haditsnya, dia meriwayatkan dari orang-orang terpercaya hadits-hadits yang bukan dari mereka, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah kerena banyaknya kesalahan dia.”1
——————————————————————————–
1 Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 5111
3. Baca Surat Yasin di Kuburan
مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ كُلُّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أوْ عِنْدَهُ يَس غُفِرَلَهُ بِعَدَدِ كُلِّ آيَةٍ أَوْ حَرْفٍ
“Barang siapa berziarah ke kuburan kedua orang tuanya setiap Jumat lalu membacakan di sisinya Surat Yasin, niscaya akan diampuni sebanyak jumlah ayat dan huruf yang dia baca.”
MAUDHU’. Diriwayatkan Ibnu ‘Adi: 1/286, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan: 2/344-345 dari jalur Abu Mas’ud Yazid bin Khalid: Menceritakan kepa­da kami Amr bin Ziyad: Menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi dari Hisyam bin Urwah dari ayahya dari Aisyah dari Abu Bakar secara mar-fu’. Sanad ini maudhu’ karena Amr bin Ziyad pe­malsu hadits. Ibnu Adi berkata: “Batil.” Hadits ini dicantumkan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at: 3/239.
Itulah tiga contoh hadits palsu tentang masalah ini. Sebetulnya masih banyak ‘kawannya’ yang semuanya tidak shohih dari Nabi صلي الله عليه وسلم .1
——————————————————————————–
1 Lihat masalah ini secara luas dalam buku Ahadits wa Marwiyyat fil Mizan Hadits Qolbul Qur’an Yasin karya Syaikh ‘Amr Abdul Lathif, Yasinan oleh al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Hadits-Hadits Seputar Keutamaan Surat Yasin tulisan al-Ustadz Dzulqornain dalam Majalah An-Nashihah Vol. 6, Tahun 1424
BEBERAPA CATATAN TENTANG YASINAN
Berikut ini beberapa catatan berharga seputar masalah Yasinan dan hadits-hadits yang berkaitan tentang Surat Yasin:
Catatan Pertama: Semua Haditsnya Tidak Shohih
Semua hadits tentang keutamaan Surat Yasin1 adalah lemah sekali dan palsu, tidak dapat dija­dikan sebagai landasan, menurut penelitian ilmu hadits. Dan kalau telah terbukti bahwa haditsnya tidak shohih maka kita dilarang untuk menyandar­kannya kepada Nabi صلي الله عليه وسلم karena hal itu merupakan kedustaan atas nama beliau yang merupakan dosa besar.2 Demikian juga kita dilarang untuk menga­malkan isinya karena ibadah itu harus dibangun di atas dalil yang shohih.
Imam al-Harowi meriwayatkan bahwasanya Ab-dulloh bin Mubarok pernah tersesat dalam safar. Se­belumnya telah sampai kabar kepadanya: “Barang siapa yang terjepit dalam kesusahan kemudian ber­seru: ‘Wahai hamba Alloh, tolonglah aku!’ maka dia akan ditolong.” (Abdulloh bin Mubarak) berkata: “Maka aku mencari hadits ini untuk aku lihat sa-nadnya.” Al-Harowi berkomentar: “Abdulloh bin Mubarak tidak memperbolehkan dirinya untuk berdo’a dengan suatu do’a yang tidak dia keta­hui sanadnya.”3
Setelah membawakan ucapan di atas, Syaikh al-Al-bani berkomentar: “Demikianlah hendaknya ittiba’ (mengikuti Nabi).”4
Dan apabila memang dirimu pernah berpedom­an pada hadits-hadits lemah dan palsu tersebut dan engkau pernah menjadi pembelanya, lalu Alloh memberikan petunjuk kepadamu, maka jangan­lah engkau segan-segan untuk memeluk kebenaran dan meninggalkan keyakinanmu yang dulu sekali­pun telah mengakar dalam hatimu.
Penulis merasa takjub dengan kisah Ibnul Jauzi tatkala beliau mengamalkan sebagian hadits ten­tang dzikir setelah sholat. Beliau berkata: “Dahulu saya telah mendengar hadits ini sejak kecil. Saya pun mengamalkannya kurang lebih tiga puluh ta­hun lamanya karena saya bersangka baik kepada para rowinya. Namun, tatkala saya mengetahui bahwa haditsnya adalah maudhu’ (palsu) maka saya pun meninggalkannya. Ada seorang pernah berkata padaku: “Bukankah itu mengamalkan suatu kebaikan?!” Saya menjawab: “Mengamalkan kebaikan itu harus disyari’atkan. Kalau kita tahu bahwa itu adalah dusta maka berarti keluar dari perkara yang disyari’atkan.”5
——————————————————————————–
1 Faedah: Yasin bukanlah salah satu nama Nabi صلي الله عليه وسلم. Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah رحمه الله berkata: “Adapun apa yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwa Yasin dan Thoha termasuk nama-nama Nabi صلي الله عليه وسلم maka hal itu tidak benar. Ti­dak terdapat dalam hadits yang shohih, hasan, mursal, atau­pun atsar dari sahabat. Huruf-huruf ini adalah seperti Alif Lam Mim, Ha Mim, Alif Lam Ro, dan sejenisnya.” (Tuhfatul Maudud hlm. 109). Yasin adalah dua huruf hijaiyyah Arab yaitu ya’ dan sin, dua huruf ini tidak memiliki arti karena bukan susunan kata bahasa Arab yang sempurna, tetapi dia memiliki tujuan mulia yaitu tantangan kepada orang-orang kafir yang mendustakan al-Qur’an agar mendatangkan kitab sepertinya yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang mereka ketahui. Oleh karena itu, seringkali setelah potongan huruf hijaiyyah tersebut, Alloh menyebutkan tentang kehebatan al-Qur’an. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, asy-Syinqithi, Ibnu Utsaimin, dll
2 Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani رحمه اللهberkata: “Para ulama bersepakat bahwa sengaja berdusta atas nama Rosululloh صلي الله عليه وسلم termasuk dosa besar, bahkan Abu Muhammad al-Juwaini sangat keras sehingga mengkafirkan orang yang sengaja dusta atas nama Rosululloh صلي الله عليه وسلم.” (Nuzhotun Nadhor fi Taudhih Nukhbah Fikar hlm. 122)
3 Dzammu al-Kalam: 4/68
4 Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 2/109
5 Al-Maudhu’at: 1/245
Catatan Kedua: Gambaran Acara Yasinan
Acara Yasinan adalah acara yang telah mendarah daging di kalangan kaum muslimin di Indonesia. Acara ini biasanya diadakan setiap malam Jum’at atau malam-malam lainnya di masjid atau diada­kan secara bergilir dari rumah ke rumah. DisebutYasinan karena yang dibaca pada acara ini adalah Surat Yasin secara bersama-sama sesudah membaca Surat al-Fatihah secara bersama-sama pula, kemu­dian diiringi dengan do’a Surat Yasin, takhtim, dan tahlil. Kemudian acara ditutup dengan membaca do’a takhtim dan tahlil. Semua itu dilakukan secara bersama-sama dan dengan suara keras.1
Yasinan di berbagai daerah terkadang disendi­rikan pada malam Jum’at dan terkadang dijadikan satu acara dengan ‘temannya’ yang bernama Tahlil­an. Kegiatan ini dimulai dengan bacaan pujian, Su­rat Yasin, atau surat-surat lain, dzikir-dzikir, serta do’a-doa yangditujukan untuk si mayit di alam kubur, hingga diakhiri dengan hidangan aneka makanan yang lebih dari ala kadarnya, bahkan bia­sanya ada juga makanan buah tangan (berkat) yang dibawa pulang.”2
——————————————————————————–
1 Lihat Surat Yasin Takhtim Tahlil dan Doa, disusun oleh Muham­mad Anwar, penerbit Sumber Ilmu Jaya, Medan. Dinukil dari Bincang-Bincang Seputar Tahlilan, Yasinan, dan Maulidan hlm. 15 karya Ust. Abu Ihsan al-Atsari
2 Lihat Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan dan Selamatan hlm. 21-22 karya al-Ustadz Abu Ibrahim Muham­mad Ali A.M
Catatan Ketiga: Ritual Yasinan Bid’ah Tetapi Dianggap Sunnah
Hadits No. 2 di atas sering dijadikan pedoman sebagian kaum muslimin yang mengadakan acara Yasinan setiap malam Jum’at padahal hadits terse­but tidak shohih. Dan anggaplah bahwa haditsnya shohih sekalipun, cara seperti itu tidak pernah di­contohkan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan para sahabatnya. Se­andainya hal itu baik, tentu akan dianjurkan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan para sahabatnya.1 Ingat, agama Islam telah sempurna dan ibadah itu harus berdasarkan dalil yang shohih.
Namun, yang harus dipahami dan diperhatikan, ini bukan merupakan pelecehan kepada salah satu Surat al-Qur’an. Yang diingkari adalah tata acara ibadah yang tidak ada tuntunannya tersebut!! Mi­rip dengan masalah ritual ini adalah fatwa al-Hafizh as-Sakhowi رحمه الله (murid al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله) ketika beliau ditanya tentang kebiasaan manusia usai sholat bahwa mereka membaca al-Fatihah dan menghadiahkannya kepada kaum muslimin yang hidup dan mati, maka beliau menjawab: “Cara se­perti itu tidak ada contohnya, bahkan ini terma­suk kebid’ahan dalam agama.”2
Nah, sekarang timbul pertanyaan: Apakah ritual Yasinan adalah ritual Islami?! Jawaban pertanyaan di atas dapat kita kutip dari sebuah diskusi kecil yang terjadi antara A dan B sebagai berikut:
A: Mengapa anda tidak pernah kelihatan ikut acara Yasinan?
B: Karena acara itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi kita.
A: Bukankah ini termasuk ritual Islami?
B: Ritual Islami berarti ibadah, sedangkan ibadah harus berdasarkan dalil yang jelas. Dan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Alloh, sehingga perbuat­an itu sia-sia.
A: Bukankah semua manusia sekarang mengamal­kannya?
B: Banyaknya manusia bukan sandaran kebenar­an. Bukankah kebanyakan manusia sekarang berbuat maksiat? Apakah Nabi kita dan para sa­habatnya dan generasi terbaik mengetahui ritual Yasinan?
A: Mungkin saja mereka tahu!
B: Mengapa mereka tidak melakukannya? Pada­hal mereka lebih tahu masalah agama daripada manusia sekarang. Bukankah para sahabat lebih rajin dan lebih semangat ibadah daripada kita? Apakah Nabi dan para sahabatnya bodoh ma­salah agama? Atau Nabi kita berkhianat tidak menyampaikan amanatnya?!
Akhirnya, si A yang merupakan simpatisan ritual Yasinan pun terdiam dan setelah itu dia mulai meninggalkan ritual-ritual yang dikatakan Islami padahal tidak ada dasarnya sama sekali.3
Jadi, sampai sekarang belum kita temukan bukti nyata berupa riwayat atau hadits yang shohih bah­wa Nabi صلي الله عليه وسلم pernah menyelenggarakan acara Yasin­an di masjid beliau atau menganjurkannya kepada seorang sahabatnya. Bahkan Nabi صلي الله عليه وسلم telah mela­rang kita mengkhususkan hari Jum’at atau malam­nya untuk diisi dengan ibadah-ibadah tertentu. Rosululloh صلي الله عليه وسلم bersabda:
لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيْالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةَ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنَ الأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dari malam-malam lainnya untuk sholat malam. Jangan pula kalian mengkhususkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya untuk puasa kecuali bila bertepatan dengan puasa sun-nah yang biasa dia lakukan.” (HR. Muslim: 1144)
——————————————————————————–
1 Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir­nya, ketika menafsirkan Surat an-Najm [53]: 39: “Dari ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i dan para pengikutnya men­gambil dalil bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayit karena bukan amal dan usaha mereka. Oleh karena itu, Nabi صلي الله عليه وسلم tidak menganjurkan kepada umatnya untuk (melakukan) hal itu dan tidak dinukil adanya seorang sahabat pun yang melakukan hal itu, padahal sean­dainya itu baik tentu mereka akan lebih mendahului kita. Masalah ibadah harus berdasarkan pada nash, tidak boleh berdasarkan analogi dan pendapat semata.” Berangkat dari ungkapan indah inilah, Ustadzuna Abdul Hakim bin Amir Abdat menulis bukunya Lau Kana Khoiron Lasabaquna Ilaihi. Semoga Alloh membalas kebaikan untuk penulisnya
2 Al-Ajwibah al-Mardhiyyah: 2/721
3 Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selematan karya al-Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali A.M. hlm. 32-33, Penerbit Pustaka Al-Ummat, cetakan pertama
Catatan Keempat: Membaca Yasinan di Kuburan
Hadits No. 3 menunjukkan sunnahnya membaca al-Qur’an di kuburan padahal membaca al-Qur’an di kuburan tidak ada contohnya dalam sunnah yang shohih, tidak pernah dicontohkan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan para sahabatnya. Di antara dalilnya adalah hadits Nabi صلي الله عليه وسلم:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ. إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ البَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه bahwasanya Rosululloh صلي الله عليه وسلم bersabda: “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya Surat al-Baqoroh.” (HR. Muslim: 1300)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan bu­kanlah tempat untuk membaca al-Qur’an. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan untuk memba­ca al-Qur’an di rumah dan melarang menjadikan rumah sebagai kuburan yang tidak dibacakan al-Qur’an di dalamnya.1
Bahkan dalam riwayat Muslim (1619) ketika Aisyah رضي الله عنه bertanya kepada Nabi صلي الله عليه وسلم: “Apa yang saya katakan pada mereka (ahli kubur), wahai Ro­sululloh?” Nabi m tidak mengajarkan kepada Ai­syah رضي الله عنه agar membaca al-Qur’an tetapi hanya me­ngajarkan do’a dan salam saja. Seandainya hal itu disyari’atkan, tentu Nabi صلي الله عليه وسلم tidak akan menyembu­nyikan kepada kekasihnya.
Dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa membaca al-Qur’an di kuburan merupakan suatu kebid’ahan sebagaimana ditegaskan oleh sejum­lah ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad dalam suatu riwayat.2
Wahai saudaraku muslim, peganglah erat-erat sunnah Nabimu dan waspadalah dari perkara bid’ah dalam agama sekalipun dianggap baik oleh kebanyakan manusia karena setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana ditegaskan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم.3
——————————————————————————–
1 Lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar 1/685
2 Syarh Ihya’ karya az-Zabidi: 2/285
3 Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 50. Lihat juga Ahkatnul Jana’iz: hlm. 241-242
Catatan Kelima: Jangan salah Paham!!
Hal yang perlu diingat dan diperhatikan dari tu­lisan ini adalah bahwa dengan membahas masalah ini bukan berarti kami melarang membaca Surat Yasin. Kami ingin menjelaskan kesalahan orang-orang yang menyandarkan dalil keutamaannya ke­pada Nabi صلي الله عليه وسلم karena berdusta atas nama Nabi صلي الله عليه وسلم diharamkan dan diancam masuk neraka. Selain itu, kita wajib melihat apakah ada contoh dari Nabi صلي الله عليه وسلم berupa riwayat yang menerangkan bahwa Nabi صلي الله عليه وسلم membaca Surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap mulai atau menutup majelis ta’lim, ketika ada orang mati, dan lain-lain.
Mudah-mudahan, penjelasan dan keterangan ini tidak mematahkan semangat tetapi malah sebagai dorongan untuk membaca dan menghafal seluruh isi al-Qur’an dan berupaya untuk mengamalkan­nya.1
Maka janganlah engkau tertipu dengan ucapan ahli bid’ah kepada Ahli Sunnah tatkala Ahli Sunnah mengingkari ritual seperti ini dengan ucapan me­reka: “Mereka adalah Wahhabi!! Melarang manusia dari dzikir dan membaca al-Qur’an! Tidak suka ba­caan al-Qur’an dan sholawat kepada Nabi!!”
Jadikanlah atsar berikut ini sebagai pelajaran. Sa’id bin Musayyib melihat seorang laki-laki menunaikan sholat setelah fajar lebih dari dua roka’at, ia memanjangkan rukuk dan sujudnya. Akhirnya, Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apak­ah Alloh akan menyiksaku dengan sebab sholat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Alloh akan me­nyiksamu karena menyelisihi as-Sunnah.”2
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله mengomentari atsar ini: “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib yang sangat indah dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan sholat kemudian membantai Ahlus Sun­nah dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah) mengingkari, dzikir dan sholat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rosul صلي الله عليه وسلم dalam dzikir, sholat, dan lain-lain.”3
——————————————————————————–
1 Yasinan karya al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas him. 8-9, terbitan Media Tarbiyah, Bogor
2 Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubro: 2/466 dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 2/236
3 Irwa’ul Gholil: 2/236
Catatan Keenam: Menepis Beberapa Syubhat
Ada beberapa alasan yang dijadikan landasan sebagian kalangan yang biasa menyelenggarakan acara tersebut, seperti ucapan mereka: “Ritual itu sudah merupakan bagian mayoritas masyarakat yang tidak bisa ditinggalkan”, “Hadits-hadits keu­tamaan Yasin”, dan sebagainya.
Kami tidak ingin membahasnya satu persatu1 karena kami kira keterangan di atas sudah memuat jawabannya. Hanya, ada dua syubhat lainnya yang kami rasa penting untuk menjawabnya:
Syubhat Pertama: Yasinan masalah Khilafiyyah.
Syubhat ini mereka lontarkan seakan-akan Ya­sinan adalah masalah ijtihadiyyah yang boleh ber­beda pendapat tentangnya, sehingga tidak boleh diingkari2
Jawaban:
1. Kita bertanya-tanya: Apakah setiap perbedaan pendapat tidak boleh diingkari? Jawabannya ti­dak3, sebagaimana dahulu dikatakan:
وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا
إِلَّاخِلَافًالَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ
Tidak semua perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat.4
2. Kewajiban setiap muslim ketika menjumpai per­bedaan pendapat adalah mengembalikannya kepada Alloh dan Rosul-Nya, sebagaimana firman Alloh:
وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلَـئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاء وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـئِكَ رَفِيقاً
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taa­tilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemu­dian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)
3. Anggapan mereka bahwa Yasinan adalah ma­salah khilafiyyah adalah tidak benar karena perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama salaf adalah tentang masalah “meng­hadiahkan pahala amalan kepada orang mati” bukan masalah Yasinan. Adapun Yasinan adalah pengkhususan bacaan-bacaan tertentu sebagai­mana yang mereka lakukan, dan ini termasuk bid’ah idhofiyyah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan para sahabatnya” dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Kalaupun seandainya kita mengatakan pahala bacaan al-Qur’an yang dihadiahkan akan sampai kepada orang mati maka ini pun sama sekali bukan dalil untuk melegalkan acara Yasinan.
4. Kemudian, mengapa mereka mengikuti sesuatu yang tidak ada landasannya, sedangkan sunnah-sunnah lainnya yang jelas disyari’atkan mereka lalaikan?!!5
Syubhat Kedua: Jangan Sibuk Dengan Masalah Parsial!!
Sebagian da’i yang ‘hikmah’ dan ustadz gaul yang ‘tidak kolot’ dengan ‘kearifan’ mereka men­coba untuk menempuh jalan pintas. Kata mereka: “Mengapa sih kita sibuk dengan masalah-masalah kulit!! Lihatlah, banyak saudara-saudara kita yang teraniaya!! Gereja-gereja timur saling bantu-mem­bantu dengan gereja barat. Lantas, masihkan kita menyibukkan diri dengan masalah-masalah ku­lit seperti ini?!! Semuanya baik, yang yasinan atau yang tidak yasinan baik. Yang tidak baik adalah yang tidak ngaji al-Qur’an!!”
Jawaban:
1. Ucapan ini sangat berbahaya karena akan ber­dampak meremehkan hukum-hukum Islam de­ngan alasan bahwa ini hanya masalah kulit, kecil, dan sebagainya. Lalu tidak ada pengingkaran dalam hatinya kepada seorang yang melanggar­nya padahal mengingkari kemungkaran meru­pakan kewajiban setiap muslim. Apakah kita ingin seperti ahli kitab yang dilaknat Alloh kare­na mereka tidak mengingkari kemungkaran?!! Bukankah kewajiban bagi orang yang mengerti untuk tegas mengingkari kemungkaran?! Lantas, mengapa harus ditutup-tutupi?!
2. Pembagian agama Islam kepada isi dan kulit merupakan pembagian yang bid’ah. Dan kalau-lah pembagian ini dianggap benar maka hal itu bukan berarti bahwa kita harus meremehkan ku­lit karena kulit tidaklah diciptakan sia-sia tetapi untuk menjaga isi buah. Hal ini mendorong kita agar tidak meremehkan masalah kulit dalam agama!! Alangkah indahnya ucapan al-Izz bin Abdus Salam: “Seandainya dikatakan kepada seorang di antara mereka: ‘Sesungguhnya ucap­an gurumu itu cuma kulit, niscaya dia akan sa­ngat mengingkarinya, lantas bagaimana dia me­nganggap kulit terhadap syari’at Islam!! Padahal syari’at diambil dari al-Qur’an dan sunnah. Maka hendaknya orang jahil ini mendapatkan hukum­an yang pantas karena dosanya tersebut.”6
3. Adapun masalah kehinaan kaum muslimin dan gencarnya makar musuh-musuh Islam, hal ini tidak boleh menjadikan terhambat (tertunda) nya penerapan sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم. Bukankah para sahabat dan salaf dahulu juga menghadapi perla­wanan hebat dari musuh-musuh Islam? Namun, apakah hal itu menjadikan mereka meremehkan dan meninggalkan penerapan sunnah Nabi صلي الله عليه وسلم dan mengingkari bid’ah?!! Sama sekali tidak.7
——————————————————————————–
1 Lihat secara luas dalam Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan karya Ust. Abu Ibrahim dan Bincang-Bincang Seputar Tahlilan, Yasinan, dan Maulidan karya Ust. Abu Ihsan al-Atsari
2 Sungguh mengherankan ucapan sebagian orang yang diang­gap militan dalam organisasinya tatkala mengatakan: “Dari hasil penelitian dengan metodologi modern, maka tahlilan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan keagamaan, tahlilan merupakan alat pemersatu umat, dan tahlilan adalah masalah khilafiyyah yang tidak boleh diing­kari oleh lainnya.” (Sumber Konflik Masyrakat Muslim NU-Muhammadiyyah him. 257-259). Subhanalloh, apakah teknologi modern dapat merubah kebatilan menjadi suatu kebenaran?!! Hanya kepada Alloh kita mengadu, keadaan manusia zaman sekarang!!
3 Untuk memahami masalah perbedaan, silakan lihat kembali tulisan kami “Perbedaan Pendapat Adalah Rahmat?!” dalam Ma­jalah AL FURQON Edisi 9 Th. ke-8, hlm. 12-14
4 Lihat al-Itqon fi Ulum Qur’an karya al-Hafizh as-Suyuthi 1/24
5 Disadur dengan beberapa perubahan dari Penjelasan Gam­blang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan karya Ust. Abu Ibrahim Muhammad Ali, cetakan pertama him. 70-76
6 Al-Fatawa him. 71-72, sebagaimana dalam Ilmu Ushul Bida’ karya Ali bin Hasan al-Halabi him. 258
7 Lihat Tabshiru Ulil Albab bi Bid’ah Taqsim Din lla Qosyri wa Lubab karya Muhammad bin Ahmad Ismail hlm. 122-136. Lihat juga masalah ini secara panjang lebar dalam kitab Dalail ash-Showab fi Bid’ah Taqsim Din lla Qosyr wa Lubab karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali
Catatan Ketujuh: Beberapa Bid’ah Berkaitan Surat Yasin
Ada- beberapa kesalahan dan kebid’ahan yang biasa dilakukan oleh sebagian manusia berkaitan dengan Surat Yasin, di antaranya:
a. Membaca Surat Yasin ketika memandikan mayit.
b. Membaca Surat Yasin kepada orang yang akan meninggal dunia.
c. Membaca Surat Yasin di kuburan.
d. Menjadikan Surat Yasin sebagai jimat.
e. Membaca Surat Yasin sebanyak empat puluh kali.1
——————————————————————————–
1 Lihat Mu’jamul Bida’ him. 679 karya Syaikh Ro’id bin Shobri Abu ‘Ulfah
Catatan Kedelapan: Marilah Banyak Membaca dan Mempelajari al-Qur’an
Catatan Kedelapan: Marilah Banyak Membaca dan Mempelajari al-Qur’an
Sekali lagi, bukanlah tujuan tulisan ini untuk menggembosi semangat kaum muslimin untuk membaca al-Qur’an. Sekali’-kali tidak, bahkan kami sangat mengimbau diri kami pribadi dan kepada seluruh kaum muslimin di mana pun berada untuk banyak membaca, mempelajari, merenungi, dan mengamalkan isi al-Qur’an karena di dalamnya terdapat mutiara-mutiara ilmu berharga yang akan menambah keimanan kita dan ketenteraman hati kita. Marilah kita ingat tujuan diturunkannya kitab suci al-Qur’an kepada kita. Alloh berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shod [38]: 29)
Inilah tujuan diturunkannya al-Qur’an. Jadi, ia bukan untuk sebagai jimat, pajangan, atau ritual-ritual rutinitas yang tidak diizinkan dalam syari’at. Maka sebagai ganti dari acara Yasinan kita bisa mengubahnya menjadi pengajian tafsir al-Qur’an, pengajian agama lainnya, atau mengkaji bersama membaca al-Qur’an disertai artinya. Sungguh hal-hal ini lebih baik dan lebih berbarokah.1
Akhirnya, kita berdo’a kepada Alloh agar men­jadikan al-Qur’an penyejuk hati kita dan petunjuk hidup kita serta lentera jalan kita. []
——————————————————————————–
1 Sebagai kenangan dan faedah, kami ceritakan bahwa ketika di Arab Saudi beberapa waktu yang lalu ada sekumpulan sau­dara kita warga Indonesia yang tetap aktif mengadakan ritual Yasinan di sana setiap malam Jum’at. Ketika melihat dari se­bagian jama’ah wajah kebosanan dan kemalasan dari acara tersebut, sebagian saudara kami mengusulkan agar acara tersebut diselingi dengan pengajian agama dan meminta ke­pada penulis untuk berpartisipasi sebagai pematerinya. Kami pun menyetujui usulan tersebut. Awalnya, kami memberikan pengajian dengan materi umum tentang tauhid, sholat dll. tanpa membahas bid’ahnya acara tersebut sehingga setelah pengajianpun selesai dilanjutkan dengan acara Yasinan mere­ka, tentunya tanpa kehadiran kami karena kami pamit pulang dulu dengan berbagai alasan. Dengan berjalannya waktu, mereka pun akhirnya meninggalkan acara tersebut dan men­cukupkan dengan pengajian agama padahal kami tidak per­nah membahasnya secara langsung dalam kajian tersebut. Segala puji hanya bagi Alloh atas hidayah dan rahmat-Nya. Kami kisahkan ini dengan tujuan agar menjadi pelajaran bagi saudara-saudara kami untuk tidak gegabah dalam menging­kari ritual-ritual yang mengakar di masyarakat seperti ini
Sumber :
Kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Islam Kaffah
Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin. Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Wallahul Muwaffiq wal Hadi ila aqwamit thariq.
Hak Cipta…!
Hak Cipta Hanyalah Milik Allah Semata. Sobat Muslimin Berhak Memanfaatkan Semua Catatan Islam Kaffah Ini untuk Tujuan Kemaslahatan Kaum Muslimin Tanpa Maksud Kormersial dan mencantumkan semua sumbernya tanpa diedit.
Jika sobat menyalahin peraturan ini siap dituntut secara hukum.
Pembuktian Hadits Keutamaan Membaca Surat Yasin pada Malam Hari adalah Dhoif
أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف حدثنا الوليد بن شجاع بن الوليد السكوني حدثنا أبي حدثنا زياد بن خيثمة حدثنا محمد بن جحادة عن الحسن عن جندب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قرأ يس في ليلة ابتغاء وجه الله غفر له
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaaq bin Ibraahiim maula Tsaqiif : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Syujaa’ bin Al-Waliid As-Sakuuniy : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Khaitsamah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Juhaadah, dari Al-Hasan, dari Jundab ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang membaca surat Yaasiin di malam hari dengan mengharap wajah Allah, maka ia akan diampuni”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 2574 dan Al-Mawaarid no. 665.
Para perawi hadits ini semuanya adalah tsiqah, hanya saja Al-Hasan – yaitu Al-Bashriy – membawakannya dengan ‘an’anah, sedangkan ia adalah seorang mudallis.
Untuk menambah faedah, berikut yang disampaikan teman saya – hafidhahullah – dalam Blognya :
Dalam beberapa literatur yang saya baca dapat disimpulkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri memang mendengar hadits dari Jundab. Al-Hafizh dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib mengatakan begini, ”Dia meriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, Sa’d bin Ubadah, Umar bin Al-Khathtab padahal dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Dia juga meriwayatkan dari Tsauban, ’Ammar bin Yasir, Abu Hurairah, Utsman bin Abu Al-Ash, Ma’qil bin Sinan padahal dia tidak mendengar langsung dari mereka. Dan (dia juga meriwayatkan) dari Utsman, Ali, Abu Musa, Abu Bakrah, Imran bin Hushain, JUNDAB AL-BAJALI, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Amr bin Al-Ash, Mu’awiyah, Ma’qil bin Yasar, Anas, Jabir dan banyak sahabat Nabi SAW yang lain serta para tabi’in.”
Dari sini kita bisa paham bahwa mulai dari nama Utsman sampai kepada Jabir maka pendengaran Al-Hasan akan hadits mereka tak perlu diragukan. Wallahu a’lam.
Bukti paling konkrit bahwa Al-Hasan Al-Bashri memang mendengar langsung dari Jundab adalah sebagaimana riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya hadits nomor 3463, kitab Ahadits Al-Anbiya`, bab: Maa Dzukira ’an Bani Israail. Hadits yang sama juga terdapat dalam Shahih Muslim, no. 113. Hadits ini menceritakan seorang yang mati bunuh diri dan Allah mengharamkan surga untuknya.
Al-Hasan Al-Bashri memang dikenal sebagai mudallis. Namun, dia masuk dalma kategori mudallis yang tidak parah. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Thabaqatul Mudallisin (atau nama lainnya Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-tadlis) memasukkannya dalam peringkat kedua dari golongan para mudallis (Lihat kitab tersebut pada biografi nomor 40). Artinya, bila memang benar dia pernah mendengar dari syekhnya maka tadlisnya bisa diterima, apalagi ‘an’anah-nya masuk dalam syarat Al-Bukhari dan Muslim.
Tidak dipungkiri bahwasannya Jundab radliyallaahu ‘anhu memang syaikh (guru) dari Hasan Al-Bashriy rahimahullah dimana ia pernah bertemu dengannya dan mendengarkan hadits/riwayat darinya. Namun harus diingat bahwa di sini Al-Hasan telah melakukan tadlis isnad. Pertemuan dan periwayatan dengan as-sama’ secara umum tidaklah langsung menshahihkan semua riwayat Al-Hasan (begitu juga perawi mudallis lainnya) yang dibawakan dengan ‘an’anah dari Jundab. Riwayat Al-Hasan dari Jundab radliyallaahu ‘anhu dikatakan shahih jika ada penjelasan tentang penyimakan hadits yang ia riwayatkan.
Adapun definisi tadlis isnad adalah :
أن يَرْوِيَ الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمع منه من غير أن يذكر سمعه منه…. ومعنى هذا التعريف أن تدليس الإسناد أن يروي الراوي عن شيخ قد سَمِعَ منه بعض الأحاديث، لكن هذا الحديث الذي دلسه لم يسمعه منه ، وإنما سمعه من شيخ آخر عنه ، فيٌسْقِطٌ ذلك الشيخَ ويرويه عنه بلفظ محتمل للسماع وغيره ، كـ ” قال ” أو ” عن ” ليوهم غيره أنه سمعه منه ، لكن لا يصرح بأنه سمع منه هذا الحديث فلا يقول : ” سمعت ” أو ” حدثني ” حتى لا يصير كذاباً بذلك ، ثم قد يكون الذي أسقطه واحداً أو أكثر
“Jika si perawi meriwayatkan hadits yang tidak pernah ia dengar dari orang yang pernah ia dengar haditsnya; tanpa menyebutkan bahwa perawi tersebut mendengar hadits itu darinya….. Penjelasan definisi tadlis isnad ini adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan beberapa hadits yang ia dengar dari seorang syaikh (guru), namun hadits yang ia tadlis­-kan tidak pernah ia dengar dari gurunya itu. Hadits itu ia dengar melalui (perantara) syaikh yang lain, dari syaikh-nya yang pertama tadi. Orang tersebut (si mudallis) menggugurkan syaikh yang menjadi perantara, dan kemudian ia (si mudallis) meriwayatkan darinya (syaikh yang pertama) dengan lafadh yang mengandung kemungkinan mendengar (samaa’) atau yang semisalnya; seperti lafadh قَالَ (telah berkata) atau عَنْ (dari) – agar orang lain menyangka bahwa ia telah mendengar dari syaikh tersebut. Padahal tidak benar orang itu telah mendengar hadits ini. Ia tidak mengatakan سَمِعْتُ (aku telah mendengar) atau حَدَّةَنِيْ (telah menceritakan kepadaku), sehingga ia tidak bisa disebut sebagai pendusta atas perbuatan itu. Orang yang ia gugurkan tadi bisa satu orang atau lebih” [lihat Taisiru Mushthalahil-Hadiits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhaan hal. 62 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis bi-Maraatibil-Maushuufiina bit-Tadliis oleh Ibnu Hajar hal. 10, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Ghaffaar Sulaiman & Muhammad bin Ahmad ‘Abdil-‘Aziiz].
Definisi di atas adalah definisi yang diberikan oleh Al-Bazzaar, Ibnu ‘Abdil-Barr, Ibnul-Qaththaan, Ibnu Hajar, As-Sakhawiy, dan yang lainnya [lihat Al-Jawaahirus-Sulaimaaniyyah oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, hal. 259]. Dan definisi inilah yang lebih tepat.
Adapun penyikapan atas ‘an’anah Al-Hasan Al-Bashriy, maka sikap pertengahan dalam hal ini adalah : ‘An’anah Al-Hasan Al-Bashriy diterima apabila ia meriwayatkan dari selain shahabat (yaitu tabi’in). Adapun ‘an’anah-nya dari shahabat, maka tidak diterima hingga ia menyatakan secara jelas (tashriih) atas penyimakan riwayatnya. Inilah yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah (lihat Ash-Shahiihah, 2/511) yang kemudian disepakati oleh Asy-Syaikh Abul-Hasan Mushthafa As-Sulaimaniy hafidhahullah. Apalagi melihat kenyataan bahwa Al-Hasan banyak meng-irsal-kan hadits. Walaupun keduanya mempunyai tafshil yang berbeda, namun intinya adalah sama.
Adapun berdalil diterimanya ‘an’anah Al-Hasan dari Jundab dengan dasar apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, maka ini kurang tepat. Tidak lain dikarenakan riwayat Al-Hasan dari Jundab dalam Shahihain telah disebutkan secara jelas dijelaskan penyimakannya.
حدثنا محمد قال حدثنا حجاج حدثنا جرير عن الحسن حدثنا جُنْدب بن عبد الله….
Telah menceritakan kepada kami Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Jundab bin ‘Abdillah……… [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3463].
وحدثنا محمد بن أبي بكر المقدمي. حدثنا وهب بن جرير. حدثنا أبي. قال: سمعت الحسن يقول: حدثنا جندب بن عبدالله البجلي في هذا المسجد
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Bakr Al-Muqaddamiy : Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jariir : Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan berkata : Telah menceritakan kepada kami Jundab bin ‘Abdillah Al-Bajaliy tentang hadits masjid…. [Diriwayatkan oleh Muslim no. 113].
Kesimpulannya : Hadits di atas adalah dla’if karena ‘an’anah Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah. Pendla’ifan ‘an’anah dalam hadits ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Al-Arna’uth, dan Asy-Syaikh Husain Salim Asad rahimahumullah.
Wallaahu a’lam.