A.
Nash Hadits
1.
Hadits Riwayat Anas bin Malik
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ
مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ»
Dari
Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf
kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami
orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan
telapak kakinya.(HR.
Al-Bukhari)
2.
Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ, حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا,
عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجَدَلِيِّ, قَالَ أَبِي: وحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ, أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّا, عَنْ حُسَيْنِ بْنِ الْحَارِثِ أَبِي
الْقَاسِمِ, أَنَّهُ سَمِعَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ, قَالَ: أَقْبَلَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ, فَقَالَ:
" أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ, ثَلَاثًا وَاللهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ
لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ " قَالَ: " فَرَأَيْتُ
الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ, وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ
وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ
An-Nu’man
bin Basyir berkata: Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata:
Tegakkanlah shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau
Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir
berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki
temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
1. Komentar Syeikh Nashiruddin Al-Albani
Syeikh
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits
as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
وقد
أنكر بعض الكاتبين في العصر الحاضر هذا الإلزاق, وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد,
فيها إيغال في تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق الحث على سد الخلل لا حقيقة
الإلزاق, وهذا تعطيل للأحكام العملية, يشبه تماما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا
أسوأ منه
Sebagian
penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki,
dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah.
Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk
merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan
ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis
sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek
dari itu.
2. Syeikh
Bakr Abu Zaid : Imam Masjid An-Nabawi Anggota Hai'at Kibar Ulama
Saudi Arabia
Syeikh
Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi
Imam Masjid Nabawi,
وإِلزاق
الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل وإِلزاق الكعب
بالكعب فيه من التعذروالتكلف والمعاناة والتحفز والاشتغال به في كل ركعة ما هو
بيِّن ظاهر.
Menempelkan
bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang
nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil,
menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.
Bakr
Abu Zaid melanjutkan:
فهذا
فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية: الاستقامة, وسد الخلل لا الإِلزاق
وإِلصاق المناكب والكعاب. فظهر أَن المراد: الحث على سد الخلل واستقامة الصف
وتعديله لا حقيقة الإِلزاق والإِلصاق
Inilah
yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela.
Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah
anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.
3. Komentar Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Syeikh
Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang
menempelkan mata kaki.
أن
كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف, فهو ليس مقصوداً
لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس
ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن يلازم
هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة.
Setiap
masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya,
agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan
intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para
jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah
lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai
shalat.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu
Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan
dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:
حديث
أنس هذا: يدل على أن تسوية الصفوف: محاذاة المناكب والأقدام.
Hadits
Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu
dan telapak kaki.
Maksud
haditsnya adalah untuk berlebih-belihan
dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
C. Point-Point Penting
1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW
Bukankah
haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya
sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi
keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits
shahih.
Jika
kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata
yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya :
أَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ
Tegakkah
barisan kalian
Itu
yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah
mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak
melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang
bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak
pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
Dan
Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Terkait
ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul
Fiqih menyebutkan:
ويدل
على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنما
يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع لأن فعل البعض لا يكون حجة
على البعض الآخر ولا على غيرهم
Menurut
madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan
pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah
bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.
Lihat
:Al-Amidi; w. 631 H, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, hal. 2/99
Jadi,
menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat.
Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh
seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas
bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika
kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas,
sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka
malah tidak melakukan apa yang mereka lihat.
Kenapa?
Karena
yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain
juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun
namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal
itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan
riwayat Anas bin Malik:
وَزَادَ
مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ وَلَوْ فَعَلْتُ ذَلِكَ بِأَحَدِهِمُ الْيَوْمَ لَنَفَرَ
كَأَنَّهُ بغل شموس
Ma’mar
menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang
dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana
keledai yang lepas. [Ibnu
Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika
menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai
salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan
Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian
bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali
para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu
perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW diam saja dan
tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk
sunnah juga.
Jawabnya,
tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu
diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya
itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh
sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma
diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah taqririyyah, tapi secara hukum
berhenti sampai kita sekedar dibolehkan melakukannya.
Dan
sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang dianjurkan,
dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang
yang tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini
adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan memaksakan diri. Dan yang pasti
fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah mendukungnya.
Tidak
bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan daging dhab dan
melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak melarangnya, lantas kita
berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman
sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis
telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis
kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada
diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika
tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan
bahu dalam shaf.
D. Kesimpulan
Berangkat
dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf
shalat?
Ada
dua pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat
Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan bahwa yang
mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil
sifat Allah.
Pendapat
kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan
tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jikapun menempelkan mata
kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini
adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai
saat ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang
mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan
dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki,
malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu
a’lam
Hanif
Luthfi, S.Sy.